Tubuh perempuan dalam karya sastra bukan hanya wujud fisik yang bisa dijelaskan secara anatomi. Ia adalah medan simbolik, tempat berlangsungnya tarik-menarik antara kuasa dan ketakberdayaan, antara objek dan subjek, antara represi dan kebebasan. Dalam sejarah panjang sastra, tubuh perempuan sering kali tidak bicara—ia dibicarakan. Ia digambarkan, dinilai, dan dibentuk oleh lensa maskulin yang menempatkannya sebagai objek eksotisme, seksualitas, atau moralitas.
Mulai dari sastra klasik hingga modern, tubuh perempuan kerap dimunculkan sebagai penanda godaan, kelemahan, atau bahkan kehancuran. Perempuan bukan pelaku, melainkan penyebab: Eve yang membawa dosa, atau tokoh “penggoda” dalam banyak cerita rakyat Nusantara. Tubuh mereka dituliskan bukan untuk mengerti siapa mereka, tetapi untuk mengukuhkan nilai-nilai patriarkis yang menundukkan.
Sastra kolonial Indonesia pun tak lepas dari konstruksi ini. Dalam banyak roman awal abad ke-20, tubuh perempuan menjadi alat kontrol sosial. Tokoh perempuan yang “baik” adalah mereka yang menunduk, patuh, menjaga kesucian tubuhnya demi kehormatan keluarga dan bangsa. Sementara mereka yang memilih jalan lain—yang mencintai dengan bebas, menolak perjodohan, atau bersuara keras—diposisikan sebagai “tersesat”. Tubuh mereka dihapus, dicela, atau dibiarkan hancur.
Namun sejarah sastra bukanlah ruang yang beku. Ia bergerak, berubah, dan dilawan. Gelombang besar perlawanan terhadap narasi dominan ini muncul kuat sejak dekade 1980-an hingga reformasi. Tokoh seperti Toeti Heraty mulai merobek kanvas patriarkal itu melalui puisi-puisi yang menohok dan tanpa kompromi. Dalam puisi Heraty, tubuh perempuan bukan sekadar simbol, melainkan medan pengalaman personal dan politik. Ia bicara tentang tubuh yang menua, tentang relasi kuasa dalam perkosaan, tentang luka yang disembunyikan. Tubuh perempuan bukan lagi objek. Ia menjadi suara.
Gelombang ini diteruskan oleh penulis-penulis perempuan generasi berikutnya seperti Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, yang tampil berani mendekonstruksi tabu. Dalam novel Saman dan Larung, Ayu Utami menuliskan tubuh perempuan dengan jujur, bahkan vulgar menurut standar konservatif. Seksualitas tidak lagi dituliskan dari sudut pandang lelaki, tapi dari pengalaman perempuan itu sendiri. Perempuan dalam Saman tidak malu terhadap tubuhnya, tidak takut akan hasratnya, dan justru menjadikan tubuh sebagai ruang perlawanan terhadap nilai-nilai feodal, agama, dan negara.
Sementara Djenar Maesa Ayu, dengan gaya yang lebih eksperimental, menampilkan tubuh perempuan sebagai ruang gelap dan ambigu—di mana luka, gairah, trauma, dan cinta saling bersilang. Cerita-ceritanya menyodorkan kenyataan pahit, tanpa sensor, tanpa memohon maaf. Dalam karya-karya Djenar, kita melihat tubuh perempuan sebagai arsip penderitaan sosial: pelecehan, pengabaian, tuntutan menjadi “ideal”, dan pencarian akan jati diri. Namun di saat yang sama, tubuh juga menjadi alat untuk bangkit dan menyusun ulang makna hidup.
Penting dicatat bahwa ketika perempuan menulis tentang tubuhnya sendiri, yang ditawarkan bukanlah pornografi, melainkan otonomi. Bukan sekadar narasi hasrat, melainkan klaim atas ruang yang selama ini dirampas. Tubuh yang ditulis perempuan bukan untuk memuaskan mata luar, tapi untuk mengingatkan bahwa perempuan pun memiliki suara, dan suara itu sering kali paling jujur ketika datang dari luka tubuhnya sendiri.
Namun tentu saja, perlawanan melalui sastra tidak selalu frontal. Banyak penulis perempuan memilih pendekatan yang lebih halus, simbolis, atau metaforis. Tubuh dalam karya mereka hadir sebagai metafora rumah, tanah, pohon, air, atau bahkan kesunyian. Namun kekuatannya tetap sama: menunjukkan bahwa tubuh perempuan adalah ruang pengalaman yang kompleks dan tidak bisa direduksi menjadi stereotip tunggal. Perempuan bukan satu sosok, satu bentuk, atau satu suara. Mereka banyak. Dan setiap tubuh membawa sejarahnya sendiri.
Dalam konteks Indonesia kontemporer, diskursus tentang tubuh perempuan dalam sastra menjadi semakin penting ketika dihadapkan dengan konservatisme yang bangkit kembali. Di tengah kampanye moralitas, penyensoran, dan pengabaian terhadap isu kekerasan seksual, karya sastra menjadi medium penting untuk mengangkat narasi-narasi yang kerap dibungkam. Di sini, sastra bekerja bukan hanya sebagai seni, tetapi sebagai kesaksian dan alat perlawanan.
Menulis tubuh perempuan, dalam iklim seperti itu, adalah tindakan politik. Menolak diam, menolak direduksi. Karena setiap tubuh membawa cerita. Dan selama perempuan masih bisa menulis dan dibaca, tidak ada yang bisa sepenuhnya membungkam mereka.
Melalui gerak sejarahnya, tubuh perempuan dalam sastra juga mencerminkan transformasi kesadaran sosial kita. Tubuh yang dulu dituliskan untuk dinikmati, ditertawakan, atau dijinakkan, kini hadir sebagai bentuk kritik dan refleksi mendalam atas sistem yang membentuknya. Dari puisi hingga prosa, dari realisme hingga surealisme, tubuh perempuan melintasi genre dengan satu benang merah: melawan diam.
Salah satu perkembangan menarik adalah munculnya penulis-penulis perempuan dari latar budaya yang beragam—tidak lagi hanya dari pusat-pusat urban seperti Jakarta, tetapi juga dari kawasan timur Indonesia, pesantren, atau komunitas adat. Mereka membawa perspektif yang memperkaya cara tubuh perempuan dipahami dan dituliskan. Tubuh perempuan dalam konteks ini berkelindan dengan adat, agama, kolonialisme, dan bahkan modernitas digital. Karya-karya seperti ini menolak narasi tunggal; mereka membuka kemungkinan akan pluralitas suara dan pengalaman.
Kita bisa melihatnya dalam puisi-puisi kekinian yang viral di media sosial, di mana tubuh perempuan dituliskan sebagai tempat luka dan bangkit. Fenomena ini menandai bahwa sastra kini tidak hanya lahir dari ruang-ruang formal atau akademik, melainkan dari keseharian perempuan yang berjuang dengan identitasnya—baik sebagai ibu, pekerja, aktivis, maupun penyintas kekerasan. Di media sosial, tubuh perempuan tidak lagi sunyi. Ia bersuara melalui bait, caption, bahkan benang utas yang menyimpan trauma masa lalu dan keberanian masa kini.
Namun, perlu diingat bahwa keberanian menuliskan tubuh tidak lepas dari risiko. Masih banyak penulis perempuan yang diserang karena dianggap “tidak bermoral”, “tidak sopan”, atau “melanggar norma”. Mereka dituding menyesatkan, bahkan ketika yang mereka tulis adalah tentang tubuh mereka sendiri. Tuduhan ini menunjukkan bahwa tubuh perempuan masih menjadi medan kuasa yang belum selesai dinegosiasikan.
Sastra, dalam hal ini, menjadi salah satu benteng terakhir yang mampu menyuarakan yang tak terdengar. Ia menjadi ruang aman, meski semu, bagi mereka yang tubuhnya tidak diberi ruang dalam wacana publik. Ia menjadi alat untuk memprotes kekerasan simbolik yang terus berlangsung—bahwa perempuan harus diam, harus tunduk, harus patuh.
Perjuangan menuliskan tubuh perempuan juga membuka jalan bagi solidaritas. Ketika satu perempuan menulis tentang tubuh dan pengalamannya, ia membuka ruang bagi perempuan lain untuk berkata, “Aku juga.” Inilah kekuatan sastra: ia menciptakan jejaring empati yang tidak bisa dibangun oleh statistik atau slogan. Ia menyentuh yang tersembunyi dan menyatukan yang tercerai-berai.
Di sisi lain, penting juga mengkritisi bahwa tidak semua representasi tubuh perempuan di tangan penulis perempuan otomatis membebaskan. Ada kalanya penulis perempuan pun terjebak dalam narasi patriarkis, baik karena tekanan pasar, sensor budaya, atau internalisasi nilai dominan. Oleh karena itu, pembacaan kritis tetap penting. Siapa yang menulis? Untuk siapa? Dalam konteks apa? Pertanyaan-pertanyaan ini harus selalu menyertai kita ketika membaca tubuh dalam sastra.
Akhirnya, tubuh perempuan dalam sastra adalah cermin bagi kondisi kebudayaan kita. Ketika tubuh perempuan dibungkam dalam teks, itu pertanda bahwa masyarakat kita belum siap mendengarkan. Sebaliknya, ketika tubuh perempuan hadir dalam teks sebagai suara, pengalaman, dan kehendak, itu menandakan bahwa kita sedang bergerak menuju masyarakat yang lebih jujur dalam melihat realitas.
Sastra tidak menyembuhkan semua luka, tapi ia membuat luka itu terlihat. Dan dalam keterlihatan itulah, lahir kemungkinan untuk berubah.