KRITIK “TIMUN JELITA” –

Tubuh Perempuan dalam Dongeng yang Retak

Apa jadinya jika cerita rakyat tak lagi hanya menjadi kisah pengantar tidur, tetapi berubah menjadi panggung kritik sosial dan perlawanan simbolik? Timun Jelita, sebuah karya yang membongkar ulang mitos Timun Mas dalam balutan feminisme dan tafsir kontemporer, adalah jawabannya. Novel ini menolak tunduk pada narasi lama tentang perempuan sebagai korban atau hadiah. Ia berdiri sebagai karya yang mempersoalkan cara kita membentuk dan mewarisi kisah.

Dalam pendekatan intertekstual, Timun Jelita sangat menarik. Ia menyapa langsung legenda Timun Mas yang sudah lama dikenal dalam khazanah dongeng Jawa, namun tidak sekadar mendaur ulangnya. Penulis memberi nafas baru pada kisah itu, membalikkan peran, membongkar struktur naratif klasik, dan—yang paling penting—menghadirkan tokoh perempuan dengan agensi penuh atas tubuh dan takdirnya.

Tokoh Jelita bukan lagi anak perempuan yang harus diselamatkan dari raksasa. Ia bukan simbol pasif yang dilepaskan oleh ibunya kepada nasib atau makhluk gaib. Jelita adalah perempuan muda yang mulai menyadari bahwa dirinya dikonstruksi dari harapan orang lain—ibu yang memohon anak, masyarakat yang memuja kecantikan, dan kekuasaan yang mengatur tubuhnya sejak dalam biji timun. Novel ini menempatkan tubuh perempuan sebagai medan tafsir, medan kuasa, dan medan luka.

Dalam kacamata feminisme, Timun Jelita menggugat banyak hal. Ia menggugat konsep pengorbanan ibu sebagai keutamaan perempuan, menggugat mitos kecantikan yang melekat pada nama “Jelita”, dan menggugat ide bahwa perempuan harus terus berlari dari kekerasan alih-alih melawannya. Ada satu kutipan dalam novel ini yang terasa seperti kunci wacana: “Jika tubuhku tumbuh dari tanah, mengapa aku tak boleh berakar pada kehendakku sendiri?”

Dengan narasi yang puitis dan metaforis, penulis menggunakan bahasa sebagai alat subversi. Ia menghadirkan suasana magis yang samar, kabut yang menggantung di antara realitas dan simbolisme. Kalimat-kalimatnya tenang, namun tajam; seperti mantra yang menyusup pelan ke alam bawah sadar pembaca. Simbol-simbol seperti biji timun, rawa-rawa, dan raksasa tak lagi bermakna tunggal. Mereka menjadi metafora dari rahim, ketakutan, dan patriarki.

Yang menarik, novel ini tidak membenci laki-laki. Ia tidak menjatuhkan seluruh beban pada tokoh pria sebagai antagonis mutlak. Sebaliknya, Timun Jelita menunjukkan bahwa patriarki adalah sistem yang bekerja secara kolektif, bahkan melalui perempuan sendiri. Ibunda Jelita, misalnya, bukan tokoh jahat, namun terjebak dalam sistem nilai yang sudah lama mengatur perempuan sebagai alat untuk menyambung garis keturunan. Ini adalah potret realisme sosial yang kompleks.

Struktur naratif novel ini tidak linier, namun justru memperkuat pengalaman pembaca dalam menjelajahi dunia simbolik yang dibangun. Bab-babnya seperti pecahan cermin: reflektif, tidak utuh, namun menyimpan kebenaran dalam retaknya. Teknik ini memberi ruang bagi pembaca untuk membaca ulang dan menemukan makna baru dalam setiap penggalan.

Menjelang akhir novel, Jelita tidak memilih jalan kekerasan atau pelarian. Ia memilih untuk berhenti. Untuk berdiri diam. Untuk tidak lagi menjadi objek perburuan. Dalam diamnya, ia menantang dunia untuk melihat dirinya bukan sebagai ‘timun emas’ yang berharga karena langka, tapi sebagai manusia yang utuh—dengan kehendak, luka, dan kekuatan sendiri. Ini adalah klimaks yang sunyi tapi mengguncang. Sebuah deklarasi eksistensi perempuan yang jarang ditemukan dalam dongeng-dongeng lama.

Penutup

Timun Jelita adalah karya yang menjembatani masa lalu dan masa kini. Ia bukan dongeng, tapi ia berasal dari dongeng. Ia bukan manifesto, tapi bergaung seperti seruan. Dalam dunia yang sedang belajar mendengar suara perempuan tanpa menyelanya, buku ini hadir sebagai gema yang tak bisa diabaikan. Ia tidak mengajarkan perempuan untuk berlari lebih cepat dari raksasa, tetapi untuk berhenti dan bertanya: “Mengapa aku selalu dikejar?”