TANGAN YANG TERANGKAT

Aku Rania. Kelas 8B. Biasa jadi sekretaris kelas, karena katanya tulisanku rapi dan aku “nggak banyak protes.”

Tapi minggu ini, kelas lagi panas.

Bu Nani, wali kelas kami, ngasih tugas buat milih ketua panitia pensi. Dan, seperti biasa, semua mata langsung tertuju ke satu orang: Kevin.

Kevin itu orangnya rame, percaya diri, dan selalu tampil. Tapi juga… agak ngatur banget.

Sebelum rapat resmi dimulai, dia udah ngumumin di grup WA:

“Kalau bisa gua aja deh ketua panitianya, biar cepet jalan.”

Beberapa orang nge-like. Tapi banyak juga yang diem. Aku salah satunya.

Waktu Bu Nani masuk dan bilang, “Silakan rapat, Ibu cuma mengamati,” suasana kelas langsung kayak pasar.

Kevin berdiri di depan kelas, “Oke guys, langsung aja. Gua nyalonin diri. Setuju?”

Beberapa angkat tangan.

Aku lirik sekitar. Banyak yang nggak angkat tangan, tapi juga nggak ngomong apa-apa.

Aku bisik ke Diah, “Kenapa diem aja?”

Diah jawab pelan, “Takut aja. Kalau ngomong beda pendapat, nanti dibilang nyinyir.”

Aku diem. Tapi dalam hati, mulai nggak enak.

Aku angkat tangan.
Semua langsung nengok. Bahkan Kevin berhenti ngomong.

“Maaf, Kev. Tapi kalau ini musyawarah, harusnya bukan cuma nanya siapa setuju kamu. Tapi juga… ngasih ruang kalau ada yang lain mau nyalonin atau punya ide.”

Kevin kelihatan kaget. “Ya… gua mikirnya biar cepet aja.”

Aku nafas panjang. “Cepet belum tentu adil. Kita kan belajar musyawarah, bukan ‘asal iya’.”

Bu Nani senyum di pojokan.
“Silakan dilanjut. Ibu hanya mengamati.”

Akhirnya, mulai ada yang berani bicara.

Salsa nyalonin Fikri, karena dia rajin dan bisa kerja tim.
Beberapa lainnya setuju.

Kevin awalnya agak bete, tapi lama-lama duduk dan diam.
Aku tahu, dia kecewa. Tapi… ini bagian dari belajar.

Kami bikin voting sederhana: pake kertas post-it warna.
Fikri menang. Kevin tetap masuk jadi tim kreatif. Dan anehnya… rapat hari itu terasa lebih adem.

Malamnya, Kevin japri aku.

“Thanks ya. Lo bener. Gua lupa ini bukan soal cepet-cepetan. Tapi soal dengerin semua.”

Aku bales, “Gua juga belajar, Kev. Gak gampang buat speak up.”

Dua minggu kemudian, latihan pensi mulai. Fikri ternyata emang kalem tapi rapi. Kevin bantu di bagian lighting dan kostum. Aku? Seperti biasa, ngurus notulen dan snack.

Hari-H, pensi kelas kami sukses besar.
Tapi yang paling berkesan, bukan acara panggungnya.
Tapi… waktu semua tim berdiri bareng di panggung dan Fikri ngomong:

“Acara ini bukan soal siapa yang paling jago. Tapi soal dengerin satu sama lain. Makasih buat semua suara yang berani muncul di tengah kelas.”

Aku tepuk tangan sambil senyum.
Karena aku tahu, suara itu… dimulai dari satu tangan yang berani terangkat.


Tags: cerita pendek Pancasila, sila keempat, musyawarah, demokrasi, rapat kelas, kepemimpinan, cerita remaja, cerita SMP, speak up, partisipasi aktif, cerita inspiratif