SASTRA MINOR DAN SUARA PINGGIRAN

Mencari yang Tersisih dalam Literatur Indonesia

Sastra Indonesia selama ini sering kali dibaca dan dirayakan dari sudut pandang pusat—baik secara geografis, bahasa, maupun kelas sosial. Karya-karya yang muncul dari Jakarta, berbahasa Indonesia baku, dan ditulis oleh penulis dari kelas menengah terpelajar, lebih mudah masuk ke dalam kanon, buku pelajaran, maupun festival sastra. Namun, bagaimana nasib karya-karya dari pinggiran? Dari daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan dan pasar penerbitan? Dari mereka yang menulis dengan bahasa ibu, dengan gaya yang tidak patuh pada estetika dominan, atau dari tubuh yang lama disingkirkan oleh sejarah?

Inilah yang disebut sebagai sastra minor—sebuah istilah yang tidak merendahkan, tetapi justru menegaskan posisi politik dari karya yang menulis dari pinggiran. Mengacu pada pemikiran Gilles Deleuze dan Félix Guattari dalam Kafka: Toward a Minor Literature, sastra minor bukan berarti karya kecil, melainkan karya yang lahir dari subjek minoritas, menggunakan bahasa mayoritas secara subversif, dan selalu bersifat politis. Dalam konteks Indonesia, sastra minor hadir dari daerah-daerah, dari bahasa lokal, dari kelas marjinal, dan dari pengalaman-pengalaman hidup yang selama ini dipinggirkan oleh wacana dominan.

Contoh paling gamblang bisa kita lihat dari karya-karya Motinggo Busye yang lahir dari pengalaman minoritas etnis dan agama di Indonesia. Dalam cerita-ceritanya, ia berbicara tentang diskriminasi, keterasingan, dan ketegangan identitas yang tidak nyaman untuk diakui oleh negara-bangsa yang mengaku “bhineka.” Karya-karya seperti ini mengusik narasi tunggal tentang “keindonesiaan” dan justru memperlihatkan kompleksitas serta luka-luka yang belum selesai.

Sastra minor juga muncul dari pengalaman perempuan yang menulis dari tubuhnya sendiri, dengan bahasa dan sudut pandang yang berbeda dari norma sastra patriarkal. Misalnya, dalam puisi-puisi Toeti Heraty atau prosa Djenar Maesa Ayu, kita mendengar suara yang tidak hanya berbeda, tetapi juga menantang dominasi gaya dan tema yang selama ini ditulis oleh penulis laki-laki. Tubuh perempuan, pengalaman seksual, dan trauma personal bukan lagi sekadar objek dalam karya laki-laki, melainkan menjadi narasi otentik dari subjek yang sadar akan posisinya.

Selain itu, kita juga tidak bisa menutup mata dari kehadiran karya-karya sastra daerah yang ditulis dalam bahasa lokal—Minangkabau, Sunda, Jawa, Bugis, atau Papua. Karya-karya ini sering kali tidak dianggap bagian dari sastra Indonesia karena tidak ditulis dalam bahasa nasional, padahal di dalamnya tersimpan kekayaan perspektif dan strategi naratif yang unik. Penulis seperti Korrie Layun Rampan dari Kalimantan atau Yosafat Werinussa dari NTT memperlihatkan bahwa kehidupan Indonesia jauh lebih luas daripada yang ditampilkan dalam buku-buku terbitan Jakarta. Sayangnya, distribusi dan pengarsipan terhadap karya-karya ini sangat minim. Bahkan dalam pendidikan sastra, suara-suara dari timur atau dari luar Jawa hampir tak pernah muncul.

Sastra minor juga bisa ditemukan dalam gaya penulisan yang menolak konvensi. Penulis-penulis yang tidak “fasih” dalam narasi linear, yang menulis dengan logika oral, atau mencampur bahasa dan idiom lokal dianggap “tidak rapi” atau “tidak layak diterbitkan.” Namun justru dalam keretakan itu terdapat kekuatan subversif: menulis tanpa izin dari norma pusat adalah bentuk perlawanan. Sastra minor tidak selalu bersuara lantang—kadang justru hadir sebagai bisikan, sebagai ingatan yang tertimbun, sebagai cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut.

Dalam masyarakat yang semakin distandarisasi oleh algoritma media sosial, sastra minor menjadi semakin penting. Ia menjadi pengingat bahwa tidak semua cerita bisa diringkas dalam konten viral atau dikurasi oleh mesin. Sastra minor mempertahankan kedalaman dan kekhasan lokal yang tak tergantikan. Ia menghidupkan kembali “yang lain” dalam sastra Indonesia—yang selama ini direduksi, dibisukan, atau dipoles agar “pasar suka.”

Namun kita tidak bisa hanya berhenti pada perayaan terhadap keberadaan sastra minor. Kita harus bertanya: mengapa mereka tetap minor? Siapa yang menentukan mana karya besar dan mana yang hanya “lokal”? Bagaimana distribusi kekuasaan dalam penerbitan, kritik sastra, kurikulum pendidikan, dan penghargaan sastra ikut memperkuat dominasi pusat atas pinggiran?

Maka, tugas kita bukan hanya membaca sastra minor, tetapi juga mendisrupsi sistem yang membuat mereka tetap minor. Memberi ruang dalam penerbitan, menampilkannya dalam festival besar, memasukkannya dalam kurikulum, dan membuka kanal distribusi yang lebih adil adalah langkah konkret untuk melawan ketimpangan kultural yang terjadi dalam ekosistem sastra Indonesia.

Akhirnya, sastra minor bukan sekadar kategori geografis atau linguistik. Ia adalah posisi politik—pilihan sadar untuk menulis dari tempat yang dilupakan, dengan suara yang tidak dilatih untuk menyenangkan pusat, dan dengan semangat untuk terus menyuarakan pengalaman yang tak tertampung oleh sistem. Dalam dunia yang semakin homogen, sastra minor adalah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa keragaman bukan hanya slogan, tapi benar-benar hidup.