Sastra, dalam bentuknya yang paling jujur, adalah cermin dari luka manusia. Ia tidak hadir sekadar untuk menghibur atau memberi pelarian dari kenyataan. Sastra lebih dari itu—ia menyayat, menyingkap, bahkan mencabik lapisan-lapisan tipis yang selama ini berusaha kita jaga dari dunia luar. Ketika kita membaca puisi-puisi Chairil Anwar, misalnya, kita tidak hanya menemukan barisan kata yang indah atau megah dalam rima, melainkan jeritan batin seorang manusia yang berdiri di antara hidup dan mati, antara harapan dan kehilangan. Chairil bukan sekadar menulis, ia menumpahkan luka yang tak lagi bisa ia simpan.
Begitu pula dalam cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma yang secara cerdas menyisipkan tragedi dalam narasi yang tampak biasa. Ia menulis tentang kekerasan, penindasan, dan absurditas hidup dengan gaya yang seolah santai—namun justru karena itulah pukulannya terasa lebih dalam. Esai ini hendak membahas satu hal utama: bagaimana sastra telah menjadi wadah, bahkan altar, bagi luka-luka manusia yang tidak bisa dijelaskan dengan cara lain. Luka yang tidak bisa diselesaikan oleh hukum, tidak bisa disembuhkan oleh obat, dan tak bisa dibicarakan di meja rapat.
Pertanyaan penting yang patut diajukan adalah: mengapa manusia, dalam dunia modern yang begitu rasional dan efisien, masih membaca dan menulis sastra? Bukankah logika, data, dan algoritma seharusnya cukup menjelaskan dunia? Jawabannya sederhana namun menyakitkan: karena manusia masih terluka. Dunia modern mungkin menawarkan kenyamanan dan kecepatan, tetapi ia juga meninggalkan banyak ruang kosong yang sunyi. Kita merasa terhubung, tetapi dalam banyak hal kita kehilangan koneksi yang paling mendasar—koneksi dengan perasaan, dengan makna, dengan keutuhan diri.
Dalam suasana seperti itu, sastra muncul bukan sebagai pelarian, tapi sebagai tempat pulang. Di sana, kita tidak perlu berpura-pura kuat. Kita boleh rapuh, boleh marah, boleh kecewa, boleh menangis tanpa ditertawakan. Kita membaca tokoh-tokoh dalam novel Pramoedya Ananta Toer—tokoh-tokoh yang tidak sempurna, yang digerogoti ketidakadilan, yang berjuang di tengah keterbatasan, namun justru karena itu mereka menjadi sangat manusiawi. Mereka tidak menampilkan heroisme yang palsu, tetapi menunjukkan betapa kuatnya manusia saat berani mengakui luka.
Salah satu kekuatan sastra adalah kemampuannya untuk menyentuh dimensi terdalam eksistensi manusia. Sastra bukan politik, bukan hukum, bukan ekonomi. Sastra tidak menawarkan solusi praktis atau kebijakan yang bisa langsung diimplementasikan. Tapi justru karena itu, ia memiliki kebebasan untuk menyusup ke wilayah-wilayah yang tidak tersentuh oleh wacana publik. Sastra bisa berbicara tentang trauma yang diwariskan antar generasi, tentang ketakutan yang membatu dalam diam, tentang kerinduan yang tak pernah tersampaikan.
Kita hidup di era ketika kecepatan dianggap sebagai keunggulan, ketika sesuatu yang viral lebih penting daripada sesuatu yang bernilai. Di tengah arus itu, sastra menjadi perlawanan yang sunyi namun gigih. Ia tidak berteriak, tetapi ia bertahan. Ia mengajarkan kita untuk melambat, untuk berhenti sejenak dan merenung. Untuk membaca satu kalimat berulang kali dan bertanya: apa makna di balik kata ini?
Ketika berita hanya menyampaikan fakta—berapa banyak yang tewas, siapa yang tertangkap, siapa yang memenangkan pemilu—sastra menelisik apa yang dirasakan seorang ibu ketika anaknya tak pulang. Apa yang dirasakan seorang buruh ketika haknya dirampas secara diam-diam. Apa yang dirasakan seorang perempuan yang hidup dalam tubuh yang tak pernah ia kuasai. Di sinilah letak kekuatan sastra: ia tidak hanya menjelaskan, tetapi memahami.
Sebagian orang menganggap sastra sebagai barang mewah, sesuatu yang hanya relevan bagi kalangan tertentu atau sebagai hiburan kelas atas. Pandangan ini menyesatkan. Sastra lahir dari rakyat, tumbuh di jalanan, di kamar sempit, di malam-malam panjang yang tak berkesudahan. Sastra tumbuh dari kegetiran dan harapan. Ia hadir dalam dongeng nenek sebelum tidur, dalam pantun yang bersahut-sahutan di pasar, dalam cerita rakyat yang beredar dari mulut ke mulut. Ia adalah milik semua orang yang pernah merasa sedih, marah, jatuh cinta, atau kehilangan.
Membaca sastra sejatinya adalah membaca diri sendiri. Setiap tokoh adalah cerminan dari kemungkinan-kemungkinan yang hidup dalam diri kita. Kita mungkin tidak pernah menjadi Minke, tokoh dalam Bumi Manusia, tapi kita tahu bagaimana rasanya dicintai dan dikhianati oleh sistem. Kita mungkin tidak pernah menjadi tokoh dalam cerpen Kuntowijoyo, tapi kita mengerti kesunyian yang mereka alami. Sastra memberi kita bahasa untuk memahami diri sendiri—bahasa yang tidak selalu bisa dijelaskan secara logis, tapi dirasakan secara emosional.
Dalam tahap awal esai ini, kita telah melihat bagaimana sastra berfungsi sebagai ruang bagi luka-luka yang tak tersembuhkan. Ia bukan obat, bukan terapi medis. Namun dalam cara yang tak bisa diukur oleh ilmu pasti, sastra merawat. Ia tidak menghapus luka, tetapi mengakuinya. Dan seringkali, pengakuan adalah langkah pertama menuju penyembuhan.
Luka yang diangkat dalam sastra bukan hanya bersifat personal, melainkan juga kolektif. Sastra mampu merekam jejak luka sejarah yang sering kali dilupakan atau bahkan sengaja dihapus dari ingatan publik. Ambil contoh karya Pramoedya Ananta Toer yang begitu jujur dalam mengangkat luka bangsa Indonesia: penjajahan, pengkhianatan, dan penghilangan hak suara. Melalui Tetralogi Buru, kita menyaksikan bagaimana kekuasaan tidak hanya menindas tubuh, tetapi juga melumpuhkan pikiran. Dalam setiap halaman, kita melihat bagaimana ingatan yang tak diberi tempat bisa menjadi luka yang membusuk.
Di sinilah sastra mengambil peran sebagai pengingat. Ia tidak membiarkan kita melupakan. Ia menuliskan apa yang ingin disembunyikan, ia menyuarakan apa yang ingin dibungkam. Cerita-cerita dari Timor Timur, tragedi 1965, konflik Aceh, Papua, hingga Reformasi 1998 telah menjadi bagian dari tubuh sastra Indonesia. Para penulis seperti Leila S. Chudori dalam Pulang, Linda Christanty dalam Militerisme dan Kekerasan Seksual, serta Laksmi Pamuntjak dalam Amba, menunjukkan bahwa luka sejarah adalah hantu yang terus bergentayangan—dan sastra adalah cara untuk menatap hantu itu tanpa lari.
Namun luka yang disuarakan sastra tidak selalu berskala besar. Kadang justru luka-luka kecil, yang sangat personal dan tak terlihat, menjadi begitu kuat ketika dituliskan. Dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, kita tidak menemukan ledakan konflik, tetapi justru keheningan yang merintih. Kalimat-kalimatnya sederhana, nyaris tanpa metafora besar, tapi di situlah kekuatannya: ia bicara tentang rasa kehilangan yang paling sepi, yang hanya bisa dirasakan ketika hujan turun pelan-pelan. Rasa sakit karena ditinggal, karena gagal, karena tak bisa berkata-kata.
Di kancah internasional, kita bisa menyebut Toni Morrison dengan novel Beloved—kisah tentang seorang budak perempuan yang dihantui oleh arwah anaknya sendiri. Morrison tidak menuliskan sejarah perbudakan dalam bentuk data, tetapi dalam bentuk rasa: ketakutan, kemarahan, cinta, dan rasa bersalah yang menyatu dalam tubuh manusia yang telah kehilangan kemanusiaannya. Novel ini bukan hanya mengangkat sejarah kelam Amerika, tapi juga membuka luka tentang bagaimana perempuan kulit hitam ditindas oleh sistem yang tak berpihak.
Begitu pula dengan Haruki Murakami yang menulis Norwegian Wood, novel tentang kehilangan, kesunyian, dan gangguan jiwa. Murakami tidak memberikan solusi atau resolusi moral. Ia justru menunjukkan bahwa tidak semua luka bisa disembuhkan, dan kadang satu-satunya jalan untuk bertahan adalah dengan mengakui bahwa kita tidak baik-baik saja. Ini penting: sebab dalam budaya yang menuntut kebahagiaan palsu dan kesuksesan semu, keberanian untuk mengakui duka adalah bentuk perlawanan yang paling radikal.
Sastra juga telah menjadi suara bagi mereka yang selama ini tak diberi ruang bicara: perempuan, anak-anak, penyintas kekerasan, kelompok marjinal. Dalam karya-karya Ayu Utami, misalnya, tubuh perempuan tidak lagi menjadi objek, tetapi subjek naratif yang sadar, marah, dan bebas. Novel Saman tidak hanya menggugat moralitas yang munafik, tapi juga memperlihatkan luka-luka yang harus dipikul perempuan karena sistem yang patriarkal dan korup.
Dalam konteks yang lebih luas, sastra mengajak kita untuk berempati. Untuk membayangkan hidup sebagai orang lain—yang miskin, yang sakit, yang ditinggalkan, yang berbeda. Ia mengikis ego dan membukakan mata kita bahwa penderitaan bukan milik segelintir orang. Ketika kita membaca tentang anak jalanan, tentang korban kekerasan, tentang perempuan yang kehilangan hak tubuhnya, kita tidak sedang melihat “mereka”, tapi “kita”. Karena pada dasarnya, luka manusia adalah universal.
Namun yang paling penting: sastra tidak berpretensi untuk menyembuhkan. Ia tidak menjanjikan kebahagiaan instan atau jalan keluar yang mudah. Ia hanya duduk di samping kita, menemani, dan berkata: aku tahu rasanya. Dan seringkali, itu sudah cukup.
Dalam dunia yang dipenuhi kebisingan, sastra adalah keheningan yang menggugah. Dalam keheningan itu, kita menemukan ruang untuk menangis, tertawa, mengingat, dan menerima. Kita tidak dipaksa untuk melupakan luka, tetapi diajak untuk hidup bersamanya, tanpa merasa malu atau lemah. Sastra tidak memberi kita dunia yang lebih baik, tapi ia memberi kita kekuatan untuk bertahan dalam dunia yang buruk.
Dan mungkin, itulah satu-satunya kekuatan yang benar-benar kita butuhkan.
Pada akhirnya, kita harus menerima bahwa tidak semua luka bisa sembuh. Beberapa akan tetap membekas, menjadi bagian dari diri kita yang paling sunyi. Namun justru dalam pengakuan akan ketakberdayaan itulah, sastra menemukan kekuatannya. Ia tidak datang dengan janji pemulihan penuh, tetapi dengan kesediaan untuk menemani. Seperti sahabat lama yang duduk diam di samping kita, sastra tidak menginterupsi atau menyela, hanya hadir—dan itu sering kali cukup.
Sastra memberi kita bahasa ketika dunia nyata gagal menjelaskan. Ia memberi kita cara untuk menangis tanpa malu, untuk marah tanpa kehilangan arah, dan untuk rindu tanpa harus memiliki. Dalam bentuknya yang paling tulus, sastra bukanlah hiburan, melainkan pengakuan. Ia menyatakan bahwa rasa sakitmu valid. Bahwa ketakutanmu nyata. Bahwa keinginanmu untuk dimengerti bukanlah kelemahan, tapi kebutuhan paling manusiawi.
Kita hidup dalam dunia yang sering kali tak memberi ruang bagi luka. Dunia yang sibuk menutupi penderitaan dengan motivasi kosong dan kebahagiaan yang dibeli. Dalam situasi seperti itu, sastra adalah pengingat bahwa luka tidak harus disembunyikan. Bahwa dalam patah, masih ada keindahan. Bahwa dalam hancur, masih ada makna.
Lihatlah bagaimana seorang remaja yang merasa sendiri akhirnya menemukan dirinya dalam puisi. Atau seorang ibu yang kehilangan anaknya, menemukan kekuatan dari novel tentang duka. Atau seorang laki-laki yang disingkirkan karena keyakinannya, mendadak merasa punya suara kembali setelah membaca cerita yang senasib. Itulah kekuatan sastra: menyentuh yang tak terlihat, menyuarakan yang tak terdengar.
Dan dalam dunia yang terus bergerak, tempat luka sering kali dilupakan atau dianggap penghalang, sastra tetap berdiri sebagai ruang pelindung yang penuh empati. Ia tidak menyuruh kita melupakan, tapi justru mengajak untuk mengenang dengan sadar. Ia tidak meminta kita untuk tegar sepanjang waktu, tapi justru mengizinkan kita untuk rapuh, untuk berhenti sejenak, dan untuk berkata: “Aku tidak baik-baik saja, dan itu tidak apa-apa.”
Mungkin itulah mengapa sastra tidak pernah benar-benar mati. Karena selama masih ada manusia yang terluka, masih ada kebutuhan untuk bicara, untuk menulis, untuk dibaca. Luka dan sastra akan selalu berjalan beriringan—bukan dalam hubungan yang menyelesaikan, tapi dalam perjalanan yang saling menguatkan. Seperti dua sisi dari satu keberadaan: saling menyakitkan, namun saling melengkapi.
Jadi, selama manusia masih hidup dengan segala kehancurannya, selama kita masih berjuang memahami makna hidup yang tak selalu logis—selama itu pula sastra akan tetap bernapas. Ia adalah suara dari luka yang tak tersembuhkan. Dan justru karena itu, ia tak tergantikan.