SASTRA DAN KEKUASAAN: MENULIS SEBAGAI TINDAKAN POLITIK

Dalam sejarah panjang peradaban manusia, sastra tak pernah sepenuhnya bebas dari kekuasaan. Ia selalu hadir sebagai cermin, sebagai kritik, atau bahkan sebagai senjata. Di tangan penulis yang sadar posisi, kata-kata menjelma alat perlawanan. Menulis bukan sekadar aktivitas estetika atau ekspresi pribadi, melainkan juga tindakan politik: menolak tunduk, menantang narasi dominan, dan menghidupkan kembali suara-suara yang disingkirkan.

Sejak zaman kolonial, sastra Indonesia sudah menunjukkan peran strategisnya dalam mengganggu stabilitas wacana kekuasaan. Balai Pustaka, yang awalnya menjadi alat kolonial Belanda untuk mengontrol produksi literasi pribumi, justru melahirkan benih-benih perlawanan. Karya-karya seperti Sitti Nurbaya oleh Marah Rusli atau Salah Asuhan oleh Abdul Muis mengusung kritik sosial dan kegelisahan kultural dalam bungkus roman yang tampaknya jinak. Namun di balik struktur cerita yang tampak normatif, terselip kegelisahan akan benturan nilai, dominasi budaya Barat, dan pertanyaan tentang identitas nasional.

Ketika memasuki era Orde Baru, fungsi politik sastra semakin mengeras. Sensor menjadi alat sistemik untuk mengontrol narasi, tetapi justru dalam kondisi represif inilah muncul karya-karya paling radikal. Pramoedya Ananta Toer adalah contoh paling gamblang bagaimana menulis menjadi ancaman nyata bagi kekuasaan. Ia dipenjara bukan karena mengangkat senjata, tetapi karena menulis. Lewat tetralogi Buru, Pram merangkai kembali sejarah dari sudut pandang rakyat tertindas—menghidupkan suara-suara yang selama ini dibungkam oleh narasi resmi negara. Dalam Bumi Manusia, tokoh Minke bukan hanya seorang jurnalis muda, tapi juga simbol perlawanan terhadap kolonialisme, feodalisme, dan patriarki.

Menulis, dalam konteks ini, adalah tindakan yang subversif. Ia menantang konstruksi realitas yang dibuat oleh penguasa, membuka ruang bagi kemungkinan lain, dan menciptakan celah dalam monolit wacana negara. Penulis bukan hanya pemimpi, tapi juga penggugat. Dan sastra bukan hanya tempat bersembunyi, tapi juga panggung perlawanan.

Namun, penting untuk menyadari bahwa kekuasaan tidak selalu hadir dalam bentuk negara atau rezim. Kekuasaan bisa berupa norma sosial, agama, kapitalisme, hingga algoritma media sosial hari ini. Dalam situasi ini, penulis ditantang untuk terus menggali wilayah-wilayah baru dalam menyuarakan perlawanan. Karya-karya sastra kontemporer seperti Amba karya Laksmi Pamuntjak mengangkat kembali peristiwa 1965 dari perspektif humanistik, bukan hanya sebagai catatan sejarah, tapi sebagai trauma kolektif yang belum selesai. Narasi semacam ini sangat penting karena negara masih gagal mengakui dan merekonsiliasi luka-luka tersebut.

Di sisi lain, muncul juga penulis-penulis muda yang menggunakan medium puisi dan prosa pendek sebagai cara menyuarakan kritik terhadap ketimpangan sosial, krisis lingkungan, hingga bias gender. Mereka mungkin tidak menggunakan istilah “politik” secara eksplisit, tetapi pilihan diksi, tokoh, dan alur dalam karya mereka menggambarkan keberpihakan yang jelas. Dalam dunia yang penuh kekacauan informasi, menulis dengan jujur adalah tindakan revolusioner.

Penulis seperti Wiji Thukul membuktikan bahwa puisi bisa lebih menggentarkan dibanding pidato politik. Kalimat-kalimat seperti “hanya ada satu kata: lawan!” tidak hanya menggugah, tetapi menjadi mantra perlawanan yang abadi. Thukul tidak pernah menyelesaikan banyak buku, tetapi puisi-puisinya hidup dalam kesadaran kolektif rakyat tertindas. Ini adalah bukti kuat bahwa sastra punya daya politik yang nyata.

Meskipun begitu, kita juga mesti berhati-hati terhadap domestikasi sastra oleh kekuasaan. Tidak jarang, karya yang kritis justru diserap oleh institusi kekuasaan dan dijinakkan. Penghargaan, kurasi festival, atau bahkan pengarsipan negara bisa menjadi cara-cara halus untuk mengatur ulang daya kritis karya. Maka, menulis secara politis juga menuntut kesadaran untuk tetap liar dan tak mudah dijinakkan.

Akhirnya, menulis sastra sebagai tindakan politik bukan berarti menjadikan karya sebagai pamflet ideologis. Yang dibutuhkan bukan propaganda, tapi kejujuran. Karya yang politis adalah karya yang jujur melihat dunia, tak gentar menghadapi kenyataan, dan berani menyuarakan yang bisu. Dalam kondisi seperti inilah, sastra bisa menjadi oase bagi yang luka, pedang bagi yang tertindas, dan cermin bagi yang berkuasa.

Dalam dunia yang terus berusaha menormalkan ketidakadilan, menulis bukan hanya tindakan estetis. Ia adalah tindakan eksistensial—menolak dilupakan, menolak dibungkam, dan menolak untuk menyerah.