Imajinasi, Etika, dan Pembentukan Karakter
Ketika membicarakan sastra, diskusi sering kali tertuju pada karya-karya dewasa yang kompleks, politis, atau eksperimental. Sastra anak, dalam konteks ini, kerap dianggap remeh atau sekadar hiburan ringan. Padahal, sastra anak memegang peranan penting dalam membentuk fondasi karakter, membangun daya imajinasi, serta menanamkan nilai-nilai etis dan sosial sejak dini. Ia adalah jembatan pertama antara anak dan dunia simbolik—antara kehidupan nyata dan narasi yang menghidupkan nilai.
Sastra anak bukan sekadar cerita tentang kelinci, pohon, atau petualangan seru. Di balik kesederhanaannya, ia memuat visi tentang masa depan. Setiap dongeng, fabel, dan cerita rakyat yang dituturkan kepada anak-anak adalah instrumen kebudayaan. Ia mengajarkan apa yang dianggap baik dan buruk, siapa yang boleh berbicara dan siapa yang diam, apa yang diperjuangkan dan apa yang ditakuti. Sastra anak membentuk persepsi dunia dalam benak anak, dan dari sanalah ide tentang masyarakat mulai terbentuk.
Dalam konteks Indonesia, tradisi lisan seperti cerita Kancil, Malin Kundang, Si Pitung, atau Timun Mas menjadi modal awal dalam memperkenalkan nilai kejujuran, keberanian, atau penghormatan pada orang tua. Meski sederhana, cerita-cerita ini berfungsi sebagai alat transmisi budaya. Namun tantangan hari ini adalah bagaimana membuat sastra anak tidak berhenti pada reproduksi nilai-nilai lama, tetapi juga menjadi ruang kritis yang relevan dengan dunia anak masa kini—dunia yang semakin kompleks dan beragam.
Salah satu persoalan krusial dalam sastra anak adalah soal representasi. Siapa yang ditampilkan dalam cerita? Apakah hanya anak-anak dari keluarga heteronormatif dan kelas menengah? Apakah perempuan selalu digambarkan lemah, sementara laki-laki selalu pemberani? Apakah anak difabel, anak adat, atau anak dari komunitas minoritas memiliki tempat dalam cerita? Sastra anak seharusnya menjadi ruang inklusif, tempat semua anak merasa dilihat dan diterima. Ketika anak tak menemukan dirinya dalam buku-buku yang dibacanya, ia akan tumbuh dengan rasa keterasingan sejak dini.
Penulis seperti Clara Ng telah menunjukkan bagaimana sastra anak bisa menembus batasan-batasan tradisional. Dalam beberapa bukunya, ia mengangkat tema perbedaan, toleransi, hingga empati sosial tanpa menggurui. Pendekatan semacam ini penting karena sastra anak tidak harus selalu bersifat moralistik. Anak-anak juga berhak menikmati cerita yang menyenangkan, imajinatif, dan menggugah rasa ingin tahu, tanpa harus terus-menerus diajari “harus begini dan begitu.” Dalam sastra anak yang baik, nilai tumbuh melalui pengalaman karakter, bukan dari ceramah.
Selain itu, kehadiran ilustrasi dalam sastra anak memperluas kemungkinan ekspresi dan pemahaman. Gambar bukan sekadar pemanis, melainkan bagian integral dari narasi. Ilustrasi memperkuat makna, membangun atmosfer, dan menjadi pintu masuk bagi pembaca awal yang belum sepenuhnya literat secara verbal. Karena itu, kerja sama antara penulis dan ilustrator memegang peranan penting dalam menyampaikan cerita secara menyeluruh. Buku seperti Lola dan Luka atau Aku Bisa menunjukkan bagaimana anak-anak dapat belajar mencintai diri mereka, mengelola emosi, atau menghadapi tantangan melalui kombinasi teks dan visual yang peka.
Dalam konteks pendidikan nasional, sastra anak sering kali dikerdilkan menjadi alat bantu pelajaran Bahasa Indonesia. Buku bacaan dipilih bukan karena kualitas sastranya, melainkan karena nilai moral atau kesesuaiannya dengan kurikulum. Akibatnya, anak-anak kehilangan kesempatan untuk mengalami sastra sebagai dunia yang hidup dan menggetarkan. Padahal, sastra yang baik bisa melampaui pelajaran formal: ia mengasah empati, membentuk imajinasi sosial, dan memperkaya kosakata emosional anak.
Peran sastra anak juga sangat penting dalam masa-masa krisis. Dalam situasi pandemi, misalnya, banyak anak mengalami kecemasan, kehilangan, dan keterasingan. Buku anak yang menyentuh tema ketakutan, kesepian, atau kematian dengan bahasa yang ringan dan penuh kasih dapat membantu mereka memproses emosi yang sulit dijelaskan. Buku Hello, Goodbye, Little Island karya Gianna Marino atau A Terrible Thing Happened karya Margaret M. Holmes adalah contoh bagaimana sastra anak bisa menjadi alat pemulihan dan refleksi emosional.
Ke depan, tantangan sastra anak Indonesia adalah bagaimana terus berinovasi dalam bentuk dan tema. Dunia anak hari ini tak lagi sesederhana dunia anak dua dekade lalu. Mereka tumbuh dalam masyarakat digital, menghadapi isu lingkungan, krisis iklim, perundungan siber, hingga perubahan struktur keluarga. Sastra anak perlu menjawab tantangan ini bukan dengan cara menakut-nakuti, tetapi dengan memberi harapan dan keberanian. Anak-anak tidak hanya butuh tahu apa yang terjadi, tetapi juga percaya bahwa mereka bisa menjadi bagian dari perubahan.
Sastra anak juga bisa menjadi alat dekolonisasi. Banyak cerita anak yang masih mendasarkan imajinasi pada tokoh-tokoh luar negeri: putri berambut pirang, pahlawan super dari Amerika, kastil dan negeri salju. Anak-anak Indonesia butuh lebih banyak cerita yang dekat dengan kehidupan mereka: rumah panggung, hutan tropis, pasar pagi, kebaya dan sarung, atau keragaman budaya yang mereka lihat sehari-hari. Dengan begitu, mereka tumbuh dengan rasa bangga terhadap identitas lokal, tanpa merasa inferior di hadapan budaya global.
Kesimpulannya, sastra anak bukan sekadar jembatan menuju sastra dewasa. Ia adalah dunia itu sendiri—dengan kompleksitasnya, dengan kekuatannya membentuk, dan dengan potensinya menyembuhkan. Ketika kita serius membangun sastra anak yang kuat, imajinatif, dan inklusif, kita sedang menanam benih masa depan bangsa yang lebih berempati, lebih kritis, dan lebih manusiawi. Sebab masa depan tidak dibangun dari teknologi semata, tetapi dari anak-anak yang punya imajinasi, nilai, dan keberanian untuk bermimpi.