Suara Minoritas dalam Lembaran Kata
Puisi telah lama menjadi medium perlawanan. Ia hadir sebagai ruang intim yang mampu menampung jeritan sunyi dan pekik yang tak terdengar di ruang publik. Dalam situasi di mana kekuasaan membungkam, puisi menjadi semacam “senjata lirih” yang menyelinap melalui celah bahasa dan menggugat dengan cara yang tidak bisa dibungkam: melalui rasa, imaji, dan penghayatan yang personal sekaligus politis.
Dalam sejarah sastra Indonesia, puisi tidak pernah steril dari konteks sosial. Chairil Anwar, misalnya, menulis “Aku” bukan hanya sebagai deklarasi eksistensial, tetapi juga sebagai pembebasan dari kungkungan konvensi budaya kolonial. Dalam puisi itu, kata-kata adalah manifestasi kebebasan, sebuah teriakan bahwa subjek pribumi punya suara dan keinginan sendiri. Sementara Wiji Thukul, dalam puisi-puisinya yang tajam, mengubah bahasa menjadi peluru. Puisinya “Hanya Satu Kata: Lawan!” telah menjadi ikon resistensi terhadap kekuasaan otoriter, menyulut nyali rakyat untuk menggugat ketidakadilan.
Namun puisi perlawanan tidak selalu hadir dalam bentuk slogan atau agitasi politik. Ia juga bisa muncul dalam getar harapan, dalam lirih duka, dalam potret hidup kelompok minoritas yang terus-menerus terpinggirkan. Dalam puisi-puisi Afrizal Malna, misalnya, kita menjumpai kompleksitas kehidupan urban yang penuh absurditas. Kata-katanya memotret kekacauan sosial dengan pendekatan eksperimental, namun tetap menyuarakan keresahan akan ketimpangan dan keterasingan manusia modern.
Puisi menjadi rumah bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan oleh narasi besar sejarah. Kelompok minoritas—etnis, agama, gender, orientasi seksual, dan kelas sosial—menemukan tempatnya dalam puisi sebagai bentuk ekspresi dan klaim eksistensi. Dalam konteks ini, puisi adalah perlawanan terhadap invisibilitas; ia mengklaim hak untuk dilihat dan didengar. Penulis seperti Joko Pinurbo dengan puisi-puisi absurd dan ironisnya menunjukkan bagaimana bahasa bisa mendekonstruksi norma sosial dan membuka ruang tafsir baru tentang tubuh, kesunyian, dan kekuasaan.
Dalam puisi perempuan, perlawanan sering hadir secara simultan sebagai pelepasan dan pengungkapan luka. Toeti Heraty, misalnya, menggugat pemaknaan tubuh perempuan yang direduksi menjadi objek seksual dalam budaya patriarkal. Puisinya “Calon Arang” membongkar mitos perempuan jahat dan menghadirkannya sebagai tokoh yang kompleks: bukan sekadar antagonis, tetapi juga korban dari struktur sosial yang tak adil. Perlawanan di sini bukan teriakan frontal, melainkan subversi simbolik melalui mitos dan sejarah yang ditulis ulang.
Puisi sebagai perlawanan juga kerap hadir dalam bentuk lokalitas yang melawan narasi dominan nasional. Penyair-penyair dari Papua, seperti Wiji Hendrikus atau Denny Sakrie, membawa suara masyarakat adat, mengangkat pengalaman kolonialisme internal dan ketidakadilan struktural yang menimpa wilayah timur Indonesia. Dengan bahasa yang terkadang liris, terkadang sangat politis, puisi mereka mengingatkan kita bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta, dan bahwa sastra tidak boleh melupakan pinggiran.
Bahasa dalam puisi bukan sekadar alat komunikasi, melainkan medan pertempuran. Dalam puisi-puisi perlawanan, bahasa ditantang, didistorsi, direkonstruksi. Ia tidak tunduk pada tata bahasa baku; justru kekacauan sintaksis menjadi simbol perlawanan terhadap tatanan yang mapan. Ini terlihat dalam karya-karya penyair kontemporer seperti Oka Rusmini, yang bermain dengan idiom-idiom Bali dalam menggugat kekuasaan adat dan struktur gender yang kaku. Perlawanan dalam puisi bukan hanya tentang isi, tetapi juga tentang bentuk—bagaimana puisi dibangun, dipecah, dan disusun kembali sebagai wujud estetika politis.
Perlawanan melalui puisi juga bisa menjadi bentuk penyembuhan. Bagi komunitas yang terluka oleh kekerasan—baik struktural maupun personal—puisi memberikan ruang untuk merawat luka dan menyuarakan pengalaman tanpa harus berteriak. Dalam kasus penyintas kekerasan seksual, puisi bisa menjadi terapi. Ia membebaskan dari rasa malu, membuka ruang solidaritas, dan menjadikan pengalaman personal sebagai bagian dari narasi kolektif yang menolak dibungkam.
Dalam dunia digital, puisi perlawanan menemukan bentuk dan medium baru. Di media sosial, puisi menjadi viral, disebarluaskan sebagai bentuk ekspresi dan solidaritas. Meskipun singkat dan kadang kehilangan kedalaman struktural, puisi-puisi Instagram dan Twitter menunjukkan bahwa puisi tetap relevan sebagai alat perjuangan. Hashtag menjadi sajak, dan ruang daring menjadi panggung bagi suara-suara yang dahulu sunyi.
Namun, penting juga diingat bahwa tidak semua puisi yang bertema sosial otomatis menjadi puisi perlawanan. Esensinya bukan sekadar bicara tentang ketidakadilan, tetapi juga bagaimana puisi mengaktifkan pembacanya untuk berpikir, merasa, dan, jika mungkin, bertindak. Perlawanan dalam puisi adalah tentang kesadaran kritis: membuka ruang tafsir, menciptakan friksi terhadap narasi dominan, dan menantang kenyamanan status quo.
Puisi perlawanan adalah pengingat bahwa dalam dunia yang bising dengan propaganda, angka statistik, dan ujaran kebencian, ada bahasa yang tetap mampu menembus jiwa. Ia tidak membentak, tetapi menggugah. Ia tidak meledak, tetapi merayap pelan, membangkitkan tanya, dan menyusupkan keberanian dalam kesunyian. Itulah kekuatan puisi: ia tidak mencari sorotan, tapi tak pernah mati.
Dalam masyarakat yang terus bergerak dan mengalami ketimpangan dalam berbagai level, puisi perlawanan akan selalu menemukan relevansinya. Ia bisa lahir di ruang kelas, di barisan demonstrasi, di lembar kerja seorang buruh, atau dalam kesendirian penyair di malam hari. Sebab, selama ada ketidakadilan, selama ada yang dibungkam, puisi akan tetap menyala—sebagai cahaya kecil di tengah gelap, sebagai suara kecil yang menolak dilupakan.