Di tengah arus informasi yang semakin deras, keluarga—terutama orang tua—memegang peran yang tak tergantikan dalam membentuk literasi positif pada anak-anak. Literasi positif bukan hanya tentang kemampuan teknis membaca, menulis, atau memahami bacaan, tetapi juga mencakup pembentukan sikap, nilai, dan cara berpikir kritis serta etis dalam menyerap dan memproduksi informasi.
Ketika teknologi begitu mudah diakses dan informasi datang dari segala arah—baik yang mendidik maupun menyesatkan—pendampingan orang tua menjadi benteng utama bagi anak dalam menyaring apa yang mereka konsumsi secara digital maupun verbal. Peran ini lebih dari sekadar mengawasi. Ia melibatkan keteladanan, pembiasaan, dan komunikasi yang hangat serta terbuka.
1. Menjadi Teladan dalam Membaca dan Menulis
Anak-anak meniru lebih banyak dari yang mereka dengar dan lihat dibandingkan dari yang diajarkan secara formal. Ketika orang tua rajin membaca buku, menulis catatan harian, atau berdiskusi secara kritis tentang bacaan, anak-anak secara alami akan menganggap aktivitas literasi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Kehadiran buku, majalah, atau portal literasi di rumah bukan sekadar dekorasi, melainkan sumber inspirasi yang hidup. Bahkan, hal sederhana seperti membaca koran pagi sambil berdiskusi singkat dengan anak tentang isi berita bisa menjadi pemantik kebiasaan berpikir kritis.
2. Memilih dan Mengenalkan Bacaan Bermakna
Di era digital, pilihan bacaan dan tontonan sangat luas—dan tidak semuanya sehat. Di sinilah pentingnya peran orang tua untuk mengkurasi konten yang dikenalkan kepada anak. Bukan dengan cara melarang sepenuhnya, tetapi dengan mengenalkan bacaan yang sarat makna, nilai, dan kekuatan naratif.
Misalnya, anak-anak bisa diperkenalkan pada cerita rakyat Nusantara, buku anak bergambar yang mengandung nilai empati dan kerjasama, atau video literasi digital dari portal-portal terpercaya seperti Fixen.id. Kunci utamanya adalah keseimbangan antara nilai edukatif dan kesenangan agar anak tetap merasa tertarik tanpa merasa didikte.
3. Membuka Ruang Diskusi dan Ekspresi
Literasi positif juga berkaitan erat dengan kemampuan menyampaikan pendapat dan mendengarkan pandangan orang lain secara santun. Orang tua dapat menciptakan lingkungan komunikasi yang hangat dan tidak menghakimi, di mana anak merasa nyaman untuk bertanya, berpendapat, dan bahkan berbeda pandangan.
Ketika anak menceritakan isi buku yang mereka baca atau film yang mereka tonton, orang tua sebaiknya tidak hanya mendengarkan, tetapi juga memantik refleksi:
- “Apa yang kamu pelajari dari cerita itu?”
- “Menurutmu, tokohnya bijak nggak saat membuat keputusan itu?”
- “Kalau kamu di posisi itu, apa yang akan kamu lakukan?”
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya memperdalam pemahaman literasi, tapi juga menanamkan nilai berpikir kritis dan empatik.
4. Mendorong Anak Menulis dan Bercerita
Menulis adalah bentuk literasi aktif yang sering kali terlupakan. Padahal, menulis membuat anak belajar menyusun pikiran, mengasah imajinasi, dan menyampaikan perasaan dengan cara yang sehat. Orang tua bisa mendorong anak untuk membuat:
- Catatan harian.
- Cerita pendek.
- Puisi.
- Komik sederhana.
- Review buku atau film.
Lebih baik lagi jika tulisan anak diberi tempat untuk dihargai, misalnya dipajang di rumah, dikirim ke media anak, atau dipublikasikan di portal literasi. Hal ini akan menumbuhkan rasa bangga dan semangat berkreasi.
5. Menjadi Filter dan Penyeimbang Informasi Digital
Saat anak mulai bersentuhan dengan internet, literasi digital menjadi sangat penting. Orang tua harus hadir sebagai teman diskusi yang siap membantu anak memilah mana informasi valid, mana hoaks; mana konten mendidik, mana manipulatif.
Alih-alih melarang penggunaan gawai, lebih bijak jika orang tua:
- Mengarahkan anak ke situs dan aplikasi edukatif.
- Menjelaskan mengapa suatu konten tidak pantas ditonton.
- Mengajarkan pentingnya privasi dan etika berkomunikasi online.
Membangun kesadaran ini sejak dini akan menjadikan anak pengguna teknologi yang cerdas dan bertanggung jawab.
6. Terlibat dalam Kegiatan Literasi Bersama
Kegiatan literasi tidak harus selalu dilakukan secara formal. Orang tua bisa menciptakan momen menyenangkan sambil memperkuat ikatan emosional, seperti:
- Membaca cerita sebelum tidur.
- Menulis surat untuk anggota keluarga.
- Mengikuti lomba menulis atau membaca bersama anak.
- Mengunjungi perpustakaan atau toko buku.
- Menulis artikel atau cerita bersama dan mengirimkannya ke media literasi.
Keterlibatan semacam ini akan memperkuat koneksi emosional sekaligus membentuk budaya literasi dalam keluarga.
Penutup: Keluarga sebagai Fondasi Literasi Bangsa
Literasi yang sehat dan positif tidak lahir dari sekolah atau media semata. Ia tumbuh subur dalam keluarga yang menjadikan nilai, kata, dan cerita sebagai napas hidup sehari-hari. Orang tua bukan hanya sebagai pengawas, tetapi sebagai sahabat literasi anak: yang menginspirasi, membimbing, dan merayakan setiap proses belajarnya.
Dengan literasi yang kuat dari rumah, kita sedang menanam generasi yang:
- Peka terhadap nilai luhur budaya.
- Kritis terhadap informasi.
- Bijak dalam berkomunikasi.
- Dan memiliki imajinasi yang luas untuk mencipta masa depan.
Dan bukankah itu salah satu bentuk warisan terbaik yang bisa kita berikan lintas generasi?