(Tema: Cinta Tanah Air & Sila ke-2: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab)
Hari Jumat pagi, langit desa Sukamaju cerah. Di halaman sekolah, Bu Sri berdiri di depan murid-murid kelas empat sambil membawa sekantong bibit trembesi.
“Anak-anak, minggu depan Hari Lingkungan Hidup. Kita akan menanam seratus pohon di sepanjang jalan desa,” katanya. “Menanam pohon berarti menjaga tanah air kita agar tetap hijau dan sejuk.”
Semua bersorak. Siti, gadis berponi yang suka membaca, bertepuk tangan paling keras. Di sampingnya ada Raka, teman baru yang harus memakai kursi roda setelah kakinya patah dalam kecelakaan sepeda. Raka tersenyum malu-malu; ini kegiatan pertamanya sejak masuk sekolah lagi.
Hari penanaman tiba. Siswa dibagi kelompok. Siti langsung memilih kelompok tempat Raka bergabung. “Biar seru, kita tim solid!” katanya sambil tersenyum lebar. Kelompok mereka mendapat tugas menanam sepuluh bibit di tepi lapangan bola, tanahnya cukup gembur tapi jaraknya agak jauh.
Teman lain mulai menggali lubang. Raka memegang pancuran kecil berisi air, namun wajahnya terlihat canggung. Siti menghampiri.
“Aku pegang kursi roda, kamu siram lubangnya nanti, ya,” ujarnya. Raka mengangguk. Mereka pun bergerak pelan menuju lubang pertama. Siti mendorong dengan hati-hati, memberi aba-aba supaya Raka tetap nyaman.
Saat mereka sampai, Fauzan — si jago sepak bola — mengulurkan cangkulnya. “Giliran kalian, kita tukar tugas,” katanya. Siti memegang cangkul, menggali tanah sambil berkeringat. Raka menunggu sampai lubang cukup dalam, lalu menuang air pelan-pelan agar bibit cepat tumbuh. Lubang pun tertutup rapat dan diberi ajir bambu.
Proses itu diulang sampai sepuluh bibit tertanam rapi. Sesekali angin berhembus membawa wangi tanah basah. Di akhir kegiatan, Pak Lurah datang memuji kerja sama mereka.
“Kalian bukan hanya menanam pohon, tapi juga menumbuhkan rasa kemanusiaan,” ucapnya. “Siti dan kawan-kawan sudah menunjukkan bahwa saling membantu adalah bagian penting Pancasila.”
Raka menatap deretan pohon muda dengan mata berbinar. “Terima kasih, Sit. Aku kira hari ini bakal susah, ternyata seru banget!”
Siti tertawa. “Kita jaga pohon ini bareng-bareng, ya. Kalau besar nanti, desa kita jadi teduh.”
Di perjalanan pulang, angin sore berbisik di daun-daun kecil. Siti merasa bangga. Ia sadar, mencintai tanah air tak selalu tentang hal besar; kadang cukup dengan menanam satu pohon dan memastikan tak ada teman yang tertinggal.