Orang Mati yang Masih Hidup

Suatu hari, Abunawas datang ke balai kota. Ia membawa seorang pria tua yang tampak gusar.

“Orang ini tidak bisa mengambil hak pensiunnya,” kata Abunawas.

Petugas memeriksa daftar. “Menurut catatan kami, dia sudah mati tiga bulan lalu.”

“Tapi dia berdiri di depan Anda sekarang.”

“Itu tidak penting. Di daftar kami, dia mati.”

Abunawas menahan tawa. “Lalu siapa yang sedang bicara ini?”

“Entah. Tapi kalau kami ubah datanya, kami bisa disalahkan.”

“Jadi?” tanya Abunawas.

“Dia harus mengurus surat hidup dulu,” jawab si petugas tenang.

“Ke mana?”

“Ke bagian kematian.”

Abunawas menarik napas. “Untuk membuktikan bahwa dia hidup, dia harus mendapat izin dari orang yang mencatat dia mati?”

Petugas mengangguk.

Abunawas pun berkata pelan:
“Beginilah akhir zaman. Ketika hidup seseorang ditentukan oleh kertas, bukan oleh denyut nadi.”

Akhirnya, Abunawas membuat sandiwara. Ia menyewa sekelompok orang untuk membuat pemakaman pura-pura bagi petugas yang sama—dan baru setelah melihat namanya tertulis “meninggal” di pengumuman desa, si petugas mengerti: kertas bisa membunuh lebih kejam daripada pedang.