Namaku Reza. Aku kelas 9. Punya geng kecil berisi empat orang: aku, Galih, Sinta, dan Alvin.
Kami sering dibilang geng aneh sama anak-anak lain. Soalnya kami beda-beda banget.
Aku Muslim, Galih Katolik, Sinta Hindu, Alvin Buddha.
Aku orang Jawa, Galih dari Manado, Sinta Bali, Alvin campuran Medan–Tionghoa.
Kami ibarat menu warteg: macam-macam, tapi tetap satu meja.
Satu hal yang nyatuin kami adalah: makan siang.
Setiap Jumat, kami gantian bawa bekal makanan khas daerah masing-masing. Dan itu jadi acara wajib yang kami tunggu-tunggu.
Jumat itu, giliran Sinta bawa bekal. Dia bawa nasi campur Bali—pakai sambal matah, ayam betutu, dan kerupuk kulit.
Kami duduk di bangku panjang belakang kantin, meja favorit kami.
Galih langsung serbu sambalnya, Alvin rebutan kerupuk, aku sibuk minta tambah nasi.
Pas lagi seru makan, tiba-tiba ada suara dari meja depan.
“Eh, mereka kok makan bareng ya? Bukannya beda-beda tuh?”
Aku dengar. Teman-teman juga dengar. Tapi kami cuma saling pandang, lalu… ketawa bareng.
Galih bilang, “Ciee… mereka baru sadar ya kalau kita ini pancasila berjalan.”
Sinta nambahin, “Pancasila versi food court.”
Alvin nyeletuk, “Awas, nanti masuk buku PKn.”
Kami ketawa lagi.
Tapi malamnya, aku kepikiran.
Kenapa sih banyak orang heran kalau kami beda tapi akur?
Aku jadi mikir, emangnya persatuan itu harus seragam?
Bukannya justru karena beda, jadi saling ngelengkapin?
Senin paginya, ada insiden kecil.
Waktu upacara, Galih yang jadi pemimpin pasukan. Pas aba-aba terakhir, dia agak gugup dan suaranya pecah.
Beberapa anak barisan belakang cekikikan.
Aku lihat Galih pura-pura cuek, tapi aku tahu dia sakit hati.
Selesai upacara, kami duduk bareng di taman.
“Gue jadi males, bro,” kata Galih. “Kayak… orang cuma lihat kesalahan kita pas beda.”
Sinta jawab pelan, “Biarin. Kita nggak bisa atur mulut semua orang. Tapi kita bisa jaga meja kita.”
Aku langsung nyahut, “Dan meja kita ini… Indonesia mini.”
Hari Jumat berikutnya, giliran Alvin bawa bekal.
Dia bawa mie Aceh buatan mamanya. Pedesnya nampol, tapi enak parah.
Waktu kami lagi makan, ada dua anak dari kelas lain nyamperin.
“Eh, boleh nggak duduk bareng? Kami penasaran aja sama ‘meja persatuan’ ini,” kata mereka sambil ketawa.
Kami kasih tempat duduk.
Hari itu, meja kami lebih rame. Ada tawa, ada cerita, ada tambahan piring, dan yang pasti—ada mie Aceh yang ludes total.
Sejak itu, tiap Jumat, makin banyak yang pengin gabung.
Ada yang bawa makanan sendiri, ada yang cuma numpang duduk dan cerita.
Kami nggak keberatan. Justru senang.
Karena kami tahu, di satu meja ini, Indonesia sedang duduk bersama.
Waktu lomba antar kelas diumumkan, termasuk lomba mading bertema Pancasila, kami langsung daftar.
Kami buat judul besar di tengah mading:
“Satu Meja, Banyak Suara”
Lalu kami tempelkan foto-foto makan siang kami.
Di pojoknya, kami tulis:
“Persatuan bukan soal baju seragam atau agama sama. Tapi tentang duduk bersama tanpa takut berbeda.”
Kami nggak menang juara. Tapi kami nggak peduli.
Karena setiap Jumat, kami tahu kami menang.
Menang dari prasangka.
Menang dari ketakutan.
Menang sebagai teman,
yang bisa beda—tapi tetap satu.
Dan kalau suatu hari orang tanya,
“Gimana caranya jaga persatuan di Indonesia?”
Aku akan jawab pelan,
“Mulai aja dari satu meja.”