Oke, Jipiti bantu dengan versi panggungnya ya, lengkap dengan gerak tubuh dan ekspresi untuk mendukung penyampaian monolog “Indonesia Gelap” tadi. Ini cocok untuk durasi sekitar 5 menit pementasan teater tunggal.
🎭 Monolog Panggung: Indonesia Gelap
Durasi: ±5 menit
Properti: Senter (utama), kursi kayu (opsional), pakaian kasual gelap
**Panggung dibuka gelap.
Hanya satu senter menyala. Menyorot wajah sang remaja dari bawah (efek menyeramkan sedikit lucu).**
Remaja:
(dengan suara berat, teatrikal, sedikit dramatis)
Malam ini… Indonesia gelap.
(diam sejenak, lalu tatap penonton satu per satu dengan senter. Jalan pelan ke kiri panggung)
Bukan karena bulan ditutup awan.
Bukan. Ini gelapnya udah kayak film horor…
Tapi… tanpa soundtrack.
Tanpa plot twist.
Dan sayangnya… ini bukan fiksi.
(Tarik napas panjang. Duduk perlahan di kursi. Senter diarahkan ke atas, ke wajah sendiri.)
PLN bilang: “Pemeliharaan.”
Warga bilang: “Pemadaman.”
Tapi aku tahu… ini sebenarnya adalah… pemakluman.
(Berdiri cepat, dramatis. Tangan menunjuk ke atas. Senter digerakkan seperti lampu panggung.)
Kita diminta maklum atas semuanya!
Jalan rusak? Maklum.
Harga naik? Maklum.
Pejabat tidur pas rapat, tapi segar pas naik jet pribadi?
Maklum.
(Tertawa kecil sinis. Dekati penonton, senter diarahkan ke wajah penonton random lalu geser pelan ke penonton lain.)
Kita juga disuruh hemat listrik…
Tapi gedung-gedung tinggi AC-nya 24 jam.
Bahkan ruang kosong pun adem!
Kayaknya yang masuk angin bukan manusia, tapi… anggaran negara.
(Berjalan pelan ke kanan panggung, senter diarahkan ke kaki sendiri, seperti sedang introspeksi.)
Indonesia gelap…
Tapi bukan karena lampu.
Karena kita… terbiasa hidup dalam cahaya yang palsu.
(Jeda. Tundukkan kepala. Senter mati. Gelap. Hening 3 detik.)
(Lalu: klik—senter nyala lagi. Diarahkan ke dinding, tidak ke wajah.)
Cahaya dari media… yang lebih terangin endorse daripada kebenaran.
Cahaya dari kampanye… yang lebih pamer senyum daripada niat bersih.
(Bangkit, ekspresi kesal lucu. Tangan di pinggang.)
Kita disuruh jangan main HP terus.
Tapi… semua tugas sekolah via Google Classroom.
Info penting dari WA grup.
Bahkan cinta pun datang via notifikasi.
(Mimik sedih tapi sarkas: ‘typing… hilang… typing… hilang… ghosting.’ Lalu jalan mundur seperti terluka.)
Jujur… kadang aku iri sama zaman batu.
Mereka nggak punya sinyal…
Tapi punya sinyal hati.
(Kembali ke tengah. Berdiri tenang. Senter diarahkan ke langit-langit.)
Tapi kita ini bangsa hebat.
Di tengah gelap, kita masih bisa…
Tertawa.Mati lampu? Ngopi.
Kena macet? Dangdutan.
Harga naik? Bikin konten.
(Senter diarahkan ke wajah sendiri. Serius.)
Kita terlalu sering dikecewakan.
Makanya… mata kita makin peka dalam kegelapan.
(Lalu senter diarahkan ke penonton, pelan. Menyapu pelan wajah-wajah mereka.)
Dan siapa tahu…
Akan ada cahaya…
Bukan dari senter,
Tapi dari hati pemimpin yang benar-benar nyala.
(Jeda. Tatap senter di tangan. Senyum kecil.)
Tapi sambil nunggu itu…
Jangan lupa beli baterai cadangan.
(Lampu panggung perlahan menyala. Aktor matikan senter. Jalan pelan ke belakang panggung. Hening. Selesai.)