Kekuatan Simbolik Cerita Rakyat dalam Sastra Kontemporer
Cerita rakyat bukan sekadar dongeng pengantar tidur. Ia adalah produk imajinasi kolektif, cermin nilai budaya, sekaligus ruang simbolik tempat masyarakat menyimpan mimpi, kecemasan, dan harapannya. Dalam sastra kontemporer, mitos dan cerita rakyat tidak lagi berdiri sebagai teks pasif dari masa lampau, melainkan aktif direkonstruksi, dibongkar, bahkan dipertanyakan ulang oleh para penulis modern. Tradisi bertemu kritik. Imajinasi kuno bersua kegelisahan hari ini.
Indonesia, dengan keberagaman etnis dan sejarah yang panjang, memiliki kekayaan mitos dan cerita rakyat yang luar biasa. Dari kisah Malin Kundang di Sumatera Barat, Roro Jonggrang di Jawa Tengah, hingga legenda La Galigo di Sulawesi, semuanya memuat lapisan simbolik yang bisa dibaca ulang sesuai konteks zamannya. Kisah-kisah ini awalnya dituturkan untuk mendidik, menakut-nakuti, atau menjelaskan asal usul alam dan manusia. Namun dalam tangan penulis sastra kontemporer, mereka menjadi alat untuk menggugat kekuasaan, membongkar stereotip, dan merayakan identitas yang selama ini terpinggirkan.
Contoh paling gamblang bisa dilihat dalam karya Saman oleh Ayu Utami, yang secara subtil menyisipkan mitos dan spiritualitas lokal dalam narasi politik dan tubuh perempuan. Sementara Leila S. Chudori dalam Pulang menyelipkan ingatan kolektif melalui kisah lisan yang diwariskan dalam keluarga, menunjukkan bahwa sejarah tak hanya ditulis oleh pemenang, tapi juga disampaikan dari mulut ke mulut, melalui kisah-kisah kecil yang membentuk makna besar.
Lebih dari sekadar latar atau ornamen, mitos dalam sastra modern menjadi medan tafsir. Penulis seperti Eka Kurniawan menghidupkan kembali tokoh mitologis dalam Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau. Dalam novel-novelnya, tokoh-tokoh rakyat seperti hantu, dukun, hingga binatang gaib bukan sekadar elemen supranatural, melainkan metafora atas sejarah kekerasan, kolonialisme, dan luka sosial yang belum pulih. Ia menafsirkan ulang mitos sebagai cermin retak yang menunjukkan wajah Indonesia pasca-Orde Baru: berantakan, penuh trauma, tapi tetap menyimpan kekuatan untuk bertahan.
Sikap kritis terhadap mitos ini penting. Dalam banyak cerita rakyat, perempuan digambarkan sebagai sosok yang menunggu, setia, atau jahat karena melawan kodrat. Dalam konteks sastra feminis, mitos-mitos ini dibaca ulang untuk menyoroti bagaimana narasi patriarkal telah tertanam sejak masa kanak-kanak. Tokoh seperti Calon Arang, misalnya, ditafsir ulang sebagai korban ketidakadilan, bukan sekadar penyihir jahat. Penulis perempuan seperti Oka Rusmini mengangkat tokoh-tokoh mitologis Bali untuk menggugat adat dan memperjuangkan kebebasan tubuh dan pikiran perempuan.
Cerita rakyat juga menjadi ruang penting bagi komunitas adat dan etnis minoritas untuk mempertahankan identitas mereka. Di tengah globalisasi dan serbuan budaya pop, mitos lokal menjadi benteng budaya. Di tangan penulis seperti Remy Sylado atau A.A. Navis, cerita rakyat disisipkan dengan humor, satire, bahkan kritik sosial tajam. Mereka membuktikan bahwa kisah lama bisa tetap hidup jika ditulis dengan napas zaman.
Fenomena ini juga hadir dalam karya sastra anak dan remaja. Penulis seperti Clara Ng dan Reda Gaudiamo mengangkat kembali cerita rakyat dengan pendekatan inklusif dan kreatif. Mereka menciptakan dunia naratif yang mampu memikat pembaca muda, tanpa kehilangan nilai-nilai kultural yang terkandung di dalamnya. Dalam dunia di mana anak-anak lebih akrab dengan superhero barat, pendekatan ini penting sebagai strategi literasi kultural.
Namun, penggunaan mitos dalam sastra tidak bebas dari persoalan. Kadang ia terjebak dalam romantisasi, melanggengkan stereotip, atau menjadikan cerita rakyat hanya sebagai eksotisme budaya. Inilah tantangan penulis hari ini: bagaimana menempatkan mitos sebagai ruang dialektik antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi dan modernitas. Bagaimana menjadikan cerita rakyat sebagai alat untuk mengkritik ketimpangan sosial, bukan sekadar nostalgia.
Satu kekuatan utama mitos dan cerita rakyat adalah sifatnya yang terbuka untuk ditafsir ulang. Tak ada versi tunggal. Setiap generasi punya hak untuk membaca ulang, mengkritisi, bahkan menulis ulang kisah-kisah tersebut sesuai zaman mereka. Inilah kekayaan mitos: ia hidup selama dituturkan, selama dihayati, selama diolah menjadi karya baru. Dan sastra menjadi laboratorium imajinasi untuk proses ini.
Di era digital, reinterpretasi mitos juga masuk ke dalam medium visual dan daring. Komik, animasi, hingga micro-fiction di media sosial banyak yang mengolah ulang kisah-kisah rakyat. Ini membuka kemungkinan kolaboratif antara sastra, seni visual, dan teknologi untuk menyampaikan pesan yang relevan bagi generasi muda. Tapi tetap, kedalaman tafsir sastra tetap dibutuhkan agar mitos tidak sekadar menjadi hiburan kosong.
Mitos adalah memori kolektif. Cerita rakyat adalah peta batin masyarakat. Dalam dunia yang cepat berubah, mereka adalah jangkar yang mengikat kita pada akar dan nilai. Tapi akar ini tidak harus menjerat. Justru ketika diolah dalam sastra, mitos menjadi jembatan antara tradisi dan masa depan. Ia membuka ruang imajinasi, menghidupkan kembali suara-suara yang nyaris terlupakan, dan memperkaya cara kita memahami dunia.
Penulis kontemporer Indonesia telah membuktikan bahwa cerita rakyat bukan milik masa lalu. Mereka adalah milik kita hari ini. Melalui narasi-narasi segar dan kritis, cerita rakyat bisa menjadi alat perubahan sosial, pendidikan budaya, dan bahkan alat perlawanan terhadap hegemoni budaya global. Sastra adalah buktinya.