MENULIS TUBUH, MENYUSUN LUKA

Trauma dan Memori dalam Fiksi Indonesia

Tubuh bukan sekadar wadah dari pengalaman hidup. Ia menyimpan jejak, memori, luka, dan ingatan yang tak selalu bisa diungkapkan dengan bahasa lisan. Dalam dunia sastra, tubuh sering kali menjadi medan tempat trauma dan memori berkelindan. Ia menjadi layar tempat sejarah pribadi dan sejarah kolektif diproyeksikan ulang—dalam bentuk rasa sakit, represi, penyangkalan, atau perlawanan.

Di Indonesia, persoalan trauma bukan hanya persoalan psikologis individual. Ia juga adalah bagian dari luka sejarah yang belum selesai. Dari kekerasan 1965, konflik Aceh dan Papua, kerusuhan Mei 1998, hingga represi terhadap perempuan dan minoritas—semua itu meninggalkan bekas dalam tubuh-tubuh warganya. Sastra, dalam banyak kasus, menjadi ruang aman untuk menyusun kembali potongan-potongan luka itu. Dan tubuh menjadi pengantar narasi yang paling jujur, paling telanjang.

Salah satu karya penting dalam membaca hubungan antara trauma dan tubuh adalah Amba karya Laksmi Pamuntjak. Melalui tokoh Amba, kita menyaksikan bagaimana tubuh seorang perempuan mengalami trauma tidak hanya karena tragedi politik 1965, tetapi juga karena cinta, pengkhianatan, dan kekuasaan negara atas tubuh manusia. Tubuh Amba menyimpan luka dari kehilangan dan represi, dan ia menuliskan ulang sejarah nasional melalui pengalaman personalnya. Di sinilah fiksi melampaui sekadar cerita: ia menjadi pengarsip dari narasi-narasi yang tidak tertulis dalam dokumen sejarah resmi.

Dalam konteks trauma dan tubuh, puisi-puisi Afrizal Malna menawarkan lanskap yang fragmentaris. Tubuh dalam puisinya sering kali tercerai-berai, seolah tidak mampu lagi menyatu karena terlalu banyak beban sejarah dan peristiwa urban. Kata-kata dalam puisinya menjadi pecahan dari sebuah tubuh yang terus diganggu oleh kapitalisme, kekerasan, dan alienasi. Ini mencerminkan bagaimana trauma bisa menjadikan tubuh sebagai ruang yang tidak utuh, yang terus-menerus kehilangan bentuk dan identitasnya.

Sementara itu, dalam Pulang karya Leila S. Chudori, tubuh menjadi lokasi yang penuh kerinduan dan keterasingan. Tokoh Dimas dan anaknya Lintang mengalami trauma eksil, keterputusan identitas, dan keterasingan budaya yang begitu dalam. Tubuh mereka berada di antara dua dunia: dunia yang ditinggalkan karena sejarah, dan dunia yang ditinggali karena keterpaksaan. Dalam kisah ini, tubuh tidak hanya menyimpan luka, tetapi juga menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara tanah air dan tanah asing.

Sastra Indonesia modern semakin banyak memunculkan cerita-cerita yang memperlihatkan tubuh sebagai situs trauma, bukan hanya pada tataran sejarah besar, tapi juga dalam kehidupan domestik. Kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, represi terhadap orientasi seksual dan identitas gender mulai banyak ditulis oleh generasi muda. Dalam karya Cerita-cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya oleh Norman Erikson Pasaribu, tubuh queer menjadi tubuh yang terus bernegosiasi antara diterima dan ditolak, antara mencintai dan merasa bersalah, antara menjadi subjek dan objek kekerasan simbolik.

Kita belajar dari karya-karya ini bahwa menulis tubuh bukan sekadar menulis daging. Menulis tubuh adalah menyusun ulang luka. Dalam kondisi masyarakat yang sering kali menolak untuk membicarakan trauma secara terbuka, sastra menjadi medium sublimasi. Trauma yang tidak bisa diucapkan secara langsung—karena tabu, represi sosial, atau ketakutan—bisa ditulis dalam bentuk cerita. Dan melalui cerita itulah masyarakat mulai bisa membicarakan yang selama ini disimpan rapat.

Namun, kita juga harus kritis terhadap bagaimana tubuh ditulis dalam fiksi. Tidak semua penulisan tubuh bersifat menyembuhkan. Ada kalanya tubuh dijadikan objek eksotis, dijual dalam estetika kekerasan, atau malah dilecehkan ulang melalui deskripsi yang tidak sensitif. Oleh karena itu, keberpihakan penulis dalam menyusun narasi tubuh dan trauma sangat penting. Apakah tubuh ditulis dengan empati atau hanya sebagai hiasan untuk menggugah emosi pembaca? Apakah trauma ditampilkan untuk membuka percakapan atau sekadar dijadikan kejutan naratif?

Di titik inilah peran kritik sastra menjadi krusial. Kita perlu membaca karya-karya tentang trauma dengan kacamata etis—bukan untuk membatasi kreativitas penulis, tetapi untuk memastikan bahwa penulisan luka dan tubuh tetap berpihak pada kemanusiaan. Terutama ketika karya itu menyentuh tema-tema yang berhubungan dengan kekerasan negara, penyintas, dan minoritas yang selama ini tidak memiliki suara dominan.

Sastra yang menuliskan tubuh dengan jujur akan memperlihatkan bahwa tubuh bukan benda mati. Ia hidup, ia punya ingatan, dan ia berbicara meskipun kata-kata tak lagi mampu menjelaskan. Tubuh bisa menjadi arsip alternatif dari sejarah, menjadi tempat bersemayamnya memori yang tidak pernah masuk ke dalam arsip negara. Dengan cara ini, tubuh dalam fiksi tidak hanya menjadi karakter, tapi juga menjadi dokumen yang hidup—menyimpan ingatan, melawan lupa.

Kesimpulannya, menulis tubuh dan trauma dalam fiksi Indonesia adalah praktik politik, estetika, dan etika sekaligus. Ia tidak hanya memperkaya khazanah cerita, tapi juga membuka jalan bagi pembaca untuk memahami sisi gelap dari sejarah dan kehidupan manusia. Dalam masyarakat yang masih sering meminggirkan pembicaraan tentang luka, sastra memberikan ruang bagi mereka yang diam untuk akhirnya bisa bersuara—dalam bisik, dalam cerita, dalam tubuh yang terus mencoba untuk pulih.