Musim panas datang. Istana panas. Raja Harun Al-Rasyid mengeluh:
“Angin sejuk cuma lewat. Mengapa tak ada yang bisa menahannya di ruang singgaskana?”
Para menteri menunduk, lalu buru-buru mengangguk. “Baik, Tuanku. Akan kami tangkap angin dan simpan di kamar Raja.”
Maka dimulailah misi absurd: para prajurit berlari ke padang rumput membawa guci, karung, bahkan kantong kulit—mengejar angin seperti anak kecil gila mainan.
Rakyat menonton. Tertawa diam-diam.
Ketika Raja bertanya pada Abunawas, “Kenapa kau tidak ikut menangkap angin?”
Abunawas menjawab tenang:
“Karena saya lebih takut tertawa oleh sejarah daripada dimarahi oleh raja.”
Raja mendengus. “Jadi kau menentang perintah?”
“Tidak, Tuanku. Tapi saya belum menemukan alat yang bisa membuktikan bahwa angin bisa dimasukkan tanpa kehilangan bentuknya.”
Raja terdiam.
Malam itu, Abunawas tidak dipenjara. Tapi semua menteri yang terlalu giat “menangkap angin” dipanggil—dan ditertawai diam-diam oleh sang raja sendiri.
Karena sesekali, bahkan penguasa pun sadar:
Ketaatan tanpa akal hanya menciptakan panggung komedi kekuasaan.