Malam Jumat Kliwon, tahun 2023. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya ketika Yono memutuskan untuk menempuh perjalanan dari Klaten menuju Batang, Jawa Tengah. Kali ini, dia memberi kepercayaan kepada putranya yang baru saja mendapatkan SIM untuk menyetir mobil keluarga.
“Pak, yakin aku yang nyetir?” tanya si anak sambil melirik sekilas ke arah ayahnya.
Yono mengangguk pelan. “Iya. Ini pengalaman. Toh, kita lewat tol, harusnya aman.”
Mereka masuk ke tol Boyolali dengan suasana hati yang tenang. Lampu-lampu jalan memantul di permukaan aspal, menciptakan ilusi irama yang menenangkan. Tak banyak kendaraan malam itu. Suara mesin stabil dan sunyi jalan tol membuat waktu terasa melambat. Sesekali, Yono memberi arahan ringan tentang kecepatan dan jarak aman.
Setelah beberapa jam, mereka keluar di pintu tol Weleri. Perjalanan selanjutnya harus dilanjutkan melalui jalan nasional yang melewati wilayah yang tak asing namun menyimpan kenangan kelam bagi Yono: Alas Roban.
“Ayo, belok kiri sini,” ujar Yono sambil menunjuk tanda jalan.
Putranya mengangguk, dan mobil perlahan memasuki kawasan hutan. Jalur tengah Alas Roban yang mereka ambil dikenal banyak orang sebagai jalur paling angker. Bahkan di siang hari pun, tempat ini membawa suasana suram. Apalagi malam ini—malam Jumat Kliwon—langit mendung tanpa bulan, dan hanya lampu mobil mereka yang menembus pekat malam.
Baru beberapa meter masuk, suasana langsung berubah.
Seolah waktu berhenti.
Hutan kanan-kiri tampak lebih rapat dari biasanya. Kabut tipis melayang seperti tirai halus yang mengambang. Udara menjadi dingin dan bau harum bunga melati mulai tercium samar. Lalu… aroma dupa.
Yono menoleh sekilas ke arah anaknya. “Fokus ya, jangan berhenti, jangan tengok-tengok.”
“Siap, Pak…” jawab anaknya, tapi nada suaranya berubah ragu.
Mereka terus melaju. Perlahan. Suara jangkrik pun seperti tertahan. Hanya deru ban yang menyentuh aspal dan dengusan mesin yang terdengar.
Yono menarik napas panjang. Hatinya dipenuhi doa. Puluhan tahun dia tidak lewat jalur ini. Terakhir, mungkin waktu dia masih kuliah. Sudah terlalu banyak cerita menyeramkan dari jalanan ini. Dari kecelakaan-kecelakaan misterius, mobil tiba-tiba mogok, hingga penampakan sosok-sosok tak kasat mata.
Dalam hati ia berdoa, “Tolong, jangan ganggu kami. Kami hanya lewat.” Berulang kali.
Tiba-tiba, kabin mobil terasa pengap. AC padahal menyala normal. Matanya menangkap sesuatu dari spion tengah—bayangan melintas cepat di balik pepohonan. Tapi dia pura-pura tak melihat.
“Ayo terus, jangan pelan. Kita hampir keluar,” bisik Yono.
Anaknya diam. Sorot matanya fokus menatap jalan, tapi jari-jarinya tampak menggenggam erat kemudi.
Lima menit… enam menit… sepuluh menit…
Akhirnya, cahaya lampu rumah warga mulai terlihat. Jalur menurun dan jalan mulai terasa lebih lebar. Suasana kembali hidup. Hawa dingin pun perlahan menghilang.
Mereka sampai di Batang sekitar pukul 11 malam. Rumah kebun yang dibangun Yono tahun 2019 menyambut dengan hangat. Sebuah rumah sederhana ditengah kebun lemon, alpukat dan 32 buah kolam lele. Tapi Yono belum puas sebelum tahu sesuatu.
Sambil menyeruput teh hangat, ia menatap anaknya.
“Kamu tadi ngerasa… apa-apa nggak?”
Putranya mengangguk pelan. Ia menatap lantai sejenak, lalu menjawab lirih, “Beberapa kali, aku merasa ada seperti ada bayangan bergerak cepat di antara pepohonan, kayak ngikutin kita dari sisi jalan.”
Yono menelan ludah.
“Kenapa nggak ngomong?”
“Aku takut, tapi lebih takut kalau aku berhenti atau panik. Aku ingat pesan Bapak: jangan berhenti dan jangan tengok-tengok.”
Sunyi mengendap di antara mereka. Tapi ada rasa syukur yang menghangat di dada Yono. Mereka selamat. Meski aura malam itu masih melekat di belakang kepala.
Sebelum tidur, Yono menengok jendela kamarnya. Di kejauhan, suara anjing menggonggong panjang. Ia menutup jendela perlahan.
Dan dalam hati, ia berbisik sekali lagi,
“Alhamdulillah, Terima kasih ya Allah, sudah mendukung kami lewat jalan itu dengan selamat.”