Di dunia yang terus berlari, ada satu malam di mana Jawa justru memilih berhenti. Bukan karena lelah, tapi karena ingin menepi. Malam itu bernama 1 Suro, malam pertama dalam kalender Jawa. Tahun ini jatuh pada Kamis malam, yang sekaligus bersamaan dengan Malam Jumat Kliwon—sebuah pertemuan langit dan bumi, antara waktu dan keheningan.
Berbeda dengan tahun baru masehi yang dirayakan dengan pesta dan kembang api, malam 1 Suro disambut dengan sunyi. Bukan sunyi biasa, tapi sunyi yang disucikan. Sebab dalam kepercayaan kejawen, malam ini adalah momen ketika alam membuka pintu batinnya. Segala yang kasat dan tak kasat bisa saling menyapa. Manusia pun diajak kembali ke dirinya sendiri.
Suro: Bulan yang Sakral
Dalam bahasa Arab, kata “Sura” atau “Asyura” berarti hari ke-10 bulan Muharram. Dalam tradisi Jawa yang menyerap unsur Islam, Hindu, dan animisme-spiritual, bulan Suro (Jawa) menjadi waktu yang sangat keramat. Bahkan lebih sakral dari bulan-bulan lainnya.
Banyak masyarakat kejawen percaya bahwa malam 1 Suro adalah waktu “tipisnya tirai antara dunia nyata dan dunia gaib.” Oleh karena itu, berbagai laku atau ritual dilakukan bukan untuk memamerkan kesaktian, melainkan sebagai wujud penyucian diri, dan mencari harmoni dengan jagad raya.
Laku-Laku Malam Suro: Mencari Hening di Tengah Derasnya Dunia
🧘♂️ Tapa Bisu
Salah satu laku paling terkenal di malam 1 Suro adalah tapa bisu—berdiam tanpa berkata sepatah kata pun, bahkan tanpa makan dan minum. Di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, ini dilakukan dengan prosesi kirab pusaka, berjalan kaki mengelilingi keraton tanpa suara. Sunyi yang penuh wibawa.
Tapa bisu mengajak manusia berhenti bicara, dan mulai mendengar suara batin.
🌊 Kungkum di Kali Opak
Di sekitar Candi Prambanan, warga melakukan ritual kungkum—berendam setengah tubuh di aliran Kali Opak—pada tengah malam 1 Suro. Kungkum bukan sekadar mandi malam. Ia adalah simbol pembasuhan diri lahir batin, melepaskan kotoran energi, membuka lembaran baru dengan hati yang bersih.
Kali Opak sendiri dipercaya mengalirkan energi gaib dari Gunung Merapi ke Laut Kidul. Maka berendam di sungai ini bukan tindakan sembarangan, melainkan bersentuhan langsung dengan aliran daya alam semesta.
🌊 Ritual di Laut Kidul
Di pesisir selatan, seperti Pantai Parangkusumo, ribuan orang berkumpul untuk larung sesaji ke Laut Selatan. Sesajen berisi makanan, bunga, dan dupa dihanyutkan ke laut sebagai bentuk penghormatan kepada penguasa alam, khususnya Ratu Kidul yang menjadi mitos sentral budaya Jawa Selatan.
Larung ini bukan sekadar simbol adat, tapi wujud syukur dan permohonan restu agar tahun baru dijalani dengan berkah dan keselamatan.
🌊 Sungai-Sungai Besar: Tempat Menyucikan Jiwa
Di tempat lain, kungkum atau berendam malam juga dilakukan di Sungai Bengawan Solo, Sungai Progo, bahkan aliran sungai kecil yang dipercaya punya daya spiritual. Air, dalam tradisi Jawa, adalah lambang kesucian. Dan sungai adalah jalan bagi jiwa untuk ngalir menuju keseimbangan baru.
Beberapa orang bahkan memilih menyendiri di pancuran, gua, atau sendang (mata air suci) seperti Sendang Beji, Sendang Jatiningsih, atau Sendang Sriningsih, menyatu dalam sunyi dan alam.
Mengapa Harus Sunyi?
Dalam filsafat Jawa, keheningan adalah gerbang pengetahuan tertinggi. Ketika manusia diam, ia baru bisa mendengar. Ketika tidak bergerak, ia baru bisa merasakan getaran semesta.
Itulah mengapa malam 1 Suro tidak dirayakan dengan gegap gempita, tapi dengan tunduk, diam, dan introspeksi. Karena yang dilawan bukan orang lain, melainkan dirinya sendiri.
Mereka yang melakoni laku Suro tidak sedang mencari kekuatan gaib untuk menundukkan dunia. Justru sebaliknya: mereka sedang menundukkan egonya sendiri, agar bisa selaras dengan jagad besar.
Antara Laku dan Identitas Budaya
Laku-laku malam Suro bukan sekadar warisan masa lalu. Ia adalah refleksi dari identitas spiritual orang Jawa—yang tidak hanya hidup secara lahir, tapi juga batin. Dan yang percaya bahwa waktu bukan hanya soal jam dan tanggal, tapi soal getaran semesta yang perlu dihormati.
Dalam dunia modern yang serba cepat, ritual malam 1 Suro mengajak kita untuk menapak pelan. Bukan agar ketinggalan, tapi agar kita tahu ke mana kaki ini benar-benar sedang menuju.
Penutup: Kembali ke Diri, Menyatu dengan Jagad
Malam 1 Suro bukan milik orang Jawa saja. Ia adalah milik siapa pun yang merasa dunia ini terlalu bising, terlalu penuh. Siapa pun yang rindu hening, rindu pulang ke dalam diri.
Dalam sunyi malam Suro, tak ada yang lebih penting dari niat yang jernih. Apakah itu kungkum, tapa bisu, larung sesaji, atau sekadar merenung di kamar gelap—semua sah, asal dilakukan dengan hati bersih dan rendah diri.
Karena seperti kata pepatah Jawa:
“Sepi ing pamrih, rame ing gawe.”
(Sunyi dari ambisi pribadi, tapi sibuk dalam karya yang penuh makna.)