Langit Buatan Abunawas

Raja Harun Al-Rasyid sedang mabuk kuasa. Suatu pagi, ia berdiri di balkon istana dan berkata, “Aku ingin menyentuh langit.”
Para menteri menunduk. Tak ada yang berani menertawakan keinginan itu, walau terdengar tolol. Maka dikirimlah utusan mencari orang satu-satunya yang bisa menipu logika dengan logika: Abunawas.

“Aku ingin naik ke langit. Buatkan tangganya. Atau bangun langit baru untukku,” titah sang Raja.

Abunawas tersenyum. “Tentu, Tuanku. Tapi bahan-bahannya sangat langka. Aku butuh kapas dari awan, paku dari cahaya bulan, dan kayu dari bayangan pohon.”

Raja mengangguk sok paham. “Apa lagi?”

“Satu lagi,” kata Abunawas. “Saya butuh izin tertulis dari langit.”

Raja memicingkan mata. “Dari langit?”

“Benar, Tuanku. Tak sembarang orang boleh membangun langit tandingan. Itu bisa dianggap makar.”

Hari itu, seluruh istana bingung: siapa yang lebih gila—raja yang ingin naik ke langit, atau Abunawas yang mengajukan syarat seperti dewa?

Tapi rakyat tahu, Abunawas sedang menyindir tanpa menunjuk. Kadang, melawan kekuasaan bukan dengan teriak. Tapi dengan bercanda sampai penguasa malu sendiri.