Suatu pagi, istana gempar: kuda kesayangan Raja Harun Al-Rasyid raib dari kandangnya. Bukan kuda biasa—ini lambang keperkasaan, lambang harga diri kekuasaan.
Raja murka. “Tangkap siapa pun yang mencurigakan!”
Penjaga istana menuduh Abunawas. Alasannya sederhana: dia sering keluar malam, dan mulutnya terlalu pintar untuk jadi rakyat biasa.
“Buktikan aku mencuri,” kata Abunawas, saat dibawa ke hadapan Raja.
“Kamu sering bicara licik,” jawab seorang menteri.
Abunawas menoleh ke Raja. “Tuanku, jika bicara licik adalah bukti kejahatan, maka yang paling pandai bersilat lidah di istana ini layak dihukum duluan.”
Raja tertawa tipis. Tapi belum puas. “Kalau kau bukan pencurinya, tunjuk siapa pelakunya!”
Abunawas menggeleng. “Tuanku, mencuri kuda itu perkara kecil. Yang besar adalah mencuri kepercayaan. Tapi itu tidak pernah dicari.”
Malam itu, penyelidikan dihentikan. Dua hari kemudian, kudanya ditemukan di kandang belakang rumah seorang bangsawan yang selama ini paling keras menuduh Abunawas.
Dan Raja belajar satu hal:
Orang bersalah sering yang paling lantang berteriak soal keadilan.