Identitas Buku
- Judul: La Hami
- Penulis: Marah Rusli
- Tahun Terbit Pertama: 1950
- Penerbit: Balai Pustaka
- Jumlah Halaman: ±180 halaman
- Bahasa: Indonesia (bernuansa Melayu Klasik)
- Genre: Sastra Realisme, Roman Sosial-Eksotis
Jejak Petualangan dan Pertarungan Cinta dalam Lintas Budaya
Setelah kesuksesannya dengan Sitti Nurbaya, Marah Rusli kembali menawarkan karya yang kaya akan konflik budaya dan kritik sosial melalui novel La Hami. Kali ini, ia menggeser latar Minangkabau menuju wilayah yang lebih eksotis—daerah timur Nusantara—dan menciptakan tokoh utama yang kompleks, yakni La Hami, seorang pemuda Bugis yang terlempar ke dalam dunia peradaban dan cinta yang tidak sederhana.
La Hami bukanlah pemuda kebanyakan. Ia digambarkan sebagai pribadi yang cerdas, kuat, dan penuh semangat. Namun keunggulan-keunggulan ini justru menuntunnya ke dalam konflik yang mendalam ketika ia jatuh cinta pada seorang gadis dari luar kaumnya. Dalam novel ini, Marah Rusli mengangkat tema cinta lintas etnis yang tidak kalah rumit dari cinta antar kasta atau agama. Pertentangan antara nilai-nilai adat dengan perasaan pribadi menjadi poros utama ketegangan cerita.
Cerita ini bergerak melalui jalur yang khas Marah Rusli: seorang pemuda idealis, tekanan dari adat, dan perjuangan individu yang ingin menembus batas-batas konservatisme masyarakat. Namun dalam La Hami, narasi terasa lebih mengalir dengan warna petualangan dan eksplorasi budaya yang lebih luas. Pembaca tidak hanya disuguhkan drama asmara, tapi juga lanskap sosial-politik masyarakat timur Indonesia, termasuk bagaimana sistem kekerabatan, hukum adat, dan patriarki bekerja di sana.
Salah satu kekuatan utama novel ini terletak pada keberanian Marah Rusli dalam menyelami cara pandang masyarakat non-Minang. Sebagai seorang yang besar dalam tradisi Minangkabau dan pendidikan Barat, ia mampu menulis tokoh La Hami dengan empati sekaligus observasi yang tajam. Gaya bahasanya tetap mengalir dalam narasi Melayu klasik, namun kali ini terasa lebih hidup dengan gambaran alam, laut, dan semangat kepahlawanan yang khas Bugis.
La Hami, sebagai tokoh, membawa beban ganda: ia tidak hanya harus membuktikan cinta dan ketulusannya, tetapi juga melawan prasangka dan hierarki sosial yang membelenggu. Dalam dirinya tersimpan cita-cita pembebasan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk perempuan yang dicintainya. Melalui karakter ini, Marah Rusli menyuarakan harapan akan manusia yang bebas memilih takdir, terlepas dari ikatan sosial yang mengekang.
Namun, seperti karya-karya sezamannya, La Hami juga tidak lepas dari konstruksi maskulinitas yang dominan. Perempuan dalam novel ini tetap berada di posisi pasif, menjadi objek cinta, konflik, dan pelengkap drama. Meskipun mereka memiliki peran emosional yang kuat, suara mereka tidak benar-benar diberi ruang penuh untuk berkembang. Dalam konteks hari ini, hal ini membuka ruang kritik feminis yang menarik: bagaimana narasi-narasi heroisme dalam sastra klasik masih banyak menggantungkan perubahan pada tokoh laki-laki sebagai penyelamat.
Yang menarik, La Hami juga memberikan cermin terhadap pandangan luar terhadap “daerah timur” Indonesia. Wilayah ini digambarkan dengan kekayaan budaya, tapi juga eksotisme yang kadang dilebih-lebihkan. Ada semacam romantisasi atas keberanian, keindahan alam, dan adat yang keras. Ini menunjukkan posisi Marah Rusli sebagai penulis yang masih berada dalam kerangka kolonial—sebuah kerangka yang memandang keragaman budaya Indonesia dari sudut pengamatan etnografis, bukan dari pengalaman otentik.
Walau begitu, La Hami tetap menjadi karya yang berani dan unik pada zamannya. Marah Rusli berhasil merentangkan cakrawala pembaca tentang kompleksitas cinta dan perjuangan di luar wilayah-wilayah yang biasanya dikisahkan. Dalam dunia sastra yang waktu itu masih banyak berkutat di seputar Jawa dan Sumatera, La Hami adalah ekspedisi sastra yang memperkaya narasi nasional kita.
Penutup
Sebagai novel roman yang berakar pada semangat kebebasan individu, La Hami memperlihatkan Marah Rusli sebagai penulis yang tidak berhenti mengeksplorasi konflik antara cinta dan adat, antara pilihan pribadi dan tekanan sosial. Dengan latar yang lebih beragam dan tokoh utama yang kuat, novel ini menjadi perluasan dari tema-tema utama sastra Balai Pustaka. Meskipun beberapa pendekatannya kini terasa kurang kritis terhadap posisi perempuan dan kulturalisme yang sempit, La Hami tetap relevan sebagai bahan refleksi dan pembelajaran tentang bagaimana sastra Indonesia berkembang dalam menggambarkan Indonesia yang majemuk.