Identitas Buku
- Judul: Binasa kerna Gadis Priangan!
- Penulis: Merari Siregar
- Tahun Terbit Pertama: 1931
- Penerbit: Balai Pustaka
- Jumlah Halaman: ±160 halaman
- Bahasa: Indonesia (gaya Melayu Klasik)
- Genre: Sastra Realisme Kolonial, Sosial-Romantis
Cinta, Kebebasan, dan Kejatuhan Lelaki di Tengah Pergulatan Budaya
Merari Siregar, penulis yang kerap disebut sebagai pelopor sastra realis di Indonesia, menulis Binasa kerna Gadis Priangan! sebagai sebuah narasi peringatan sosial, sekaligus kritik terhadap kegamangan identitas lelaki bumiputera di tengah godaan modernitas dan eksotisme lokal. Judulnya yang dramatis memberi petunjuk awal tentang isi novel: ini adalah kisah kehancuran hidup seorang lelaki karena pilihan cintanya terhadap perempuan dari budaya berbeda.
Tokoh utama, Sayuti, adalah seorang pemuda Batak yang terdidik dan rasional, namun pada titik tertentu terpikat oleh pesona seorang gadis Priangan bernama Eulis. Dalam hubungan mereka, tergambar ketertarikan romantik yang pada awalnya tampak menyegarkan—lintas budaya, lintas batas norma sosial. Namun, seiring waktu, perbedaan latar belakang, nilai, serta cara hidup membuat hubungan mereka tidak harmonis. Cinta yang awalnya terasa idealistis itu justru menjadi awal kejatuhan Sayuti—secara ekonomi, sosial, dan akhirnya moral.
Merari Siregar menyusun alur cerita dengan cukup rapat dan lugas. Tidak banyak permainan simbol atau struktur naratif yang kompleks, sebagaimana umumnya sastra Balai Pustaka pada masanya. Fokusnya adalah pada transformasi tokoh, dan pada pesan moral yang ingin disampaikan: bahwa pilihan hidup, terutama dalam soal cinta dan pasangan, tidak hanya soal perasaan, tetapi juga tentang pertimbangan rasional, budaya, dan kesetiaan pada jati diri.
Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini kental dengan diksi Melayu Klasik, namun dalam karya ini terasa lebih hidup karena Merari Siregar kerap menyisipkan dialog-dialog emosional dan deskriptif. Gambaran tentang alam Priangan, kebiasaan masyarakat Sunda, dan watak Eulis sendiri menjadi bagian dari kritik budaya yang tersirat dalam narasi. Tidak sedikit pembaca masa kini yang akan merasa bahwa Eulis digambarkan terlalu stereotipikal—indah, menggoda, tetapi akhirnya “membinasakan.” Namun dalam konteks zaman, gambaran ini mencerminkan ketakutan sosial terhadap keterbukaan yang tidak disertai kehati-hatian budaya.
Dalam kerangka yang lebih luas, Binasa kerna Gadis Priangan! dapat dibaca sebagai manifestasi kegelisahan kaum terdidik pribumi yang terjebak antara idealisme pendidikan Barat dan realitas sosial Indonesia yang majemuk. Sayuti menjadi simbol pemuda Indonesia yang tercerabut dari akar nilai-nilai kampungnya, tergoda oleh modernitas (yang dalam novel ini dilambangkan oleh kebebasan perempuan dan dinamika budaya luar), namun gagal mengelola pergulatan tersebut.
Perempuan dalam novel ini, khususnya Eulis, digambarkan bukan hanya sebagai objek cinta, tetapi juga sebagai agen kehancuran. Ini membuat posisi perempuan dalam novel sangat problematis. Eulis tidak diberi ruang untuk berkembang sebagai karakter utuh dengan motivasi dan latar belakang psikologis yang dalam. Ia lebih hadir sebagai simbol daripada sebagai manusia. Ini bisa menjadi pintu masuk untuk kritik feminis terhadap karya ini—bagaimana perempuan digunakan sebagai metafora dari ancaman terhadap stabilitas lelaki.
Meskipun demikian, kita tidak bisa mengabaikan relevansi historis dan sosiologis novel ini. Ia merekam keresahan sosial tentang hubungan antar-etnis, tentang keterbukaan budaya, dan tentang peran laki-laki sebagai pemimpin moral keluarga. Dalam hal ini, Binasa kerna Gadis Priangan! adalah arsip emosional sekaligus ideologis dari zaman yang sedang mengalami transisi hebat—dari feodalisme menuju modernitas kolonial.
Penutup
Binasa kerna Gadis Priangan! bukan hanya kisah cinta yang gagal, tetapi cermin dari dilema eksistensial lelaki bumiputera yang mencari arah dalam dunia yang sedang berubah cepat. Dengan narasi yang sederhana namun sarat makna, Merari Siregar mengingatkan kita bahwa cinta tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan nilai, integritas, dan kesadaran budaya. Meski beberapa pandangannya kini terasa problematis, novel ini tetap penting sebagai bagian dari warisan sastra yang membentuk identitas bangsa dan memperkaya diskusi lintas budaya dalam kesusastraan Indonesia.