Luka yang Tak Pernah Selesai dalam Sejarah yang Disenyapkan
Dalam Laut Bercerita, Leila S. Chudori membuka lembar-lembar luka bangsa yang lama tertutup rapat oleh narasi resmi. Novel ini tidak sekadar menjadi karya sastra, melainkan juga pernyataan sejarah yang menyala. Ia adalah suara yang mewakili mereka yang hilang, yang dibungkam, yang hanya hidup dalam bisik.
Dengan pendekatan historis dan afektif, novel ini menempatkan kisah politik sebagai pengalaman personal yang merobek. Tokoh utamanya, Biru Laut, bukan hanya aktivis mahasiswa 1998, melainkan wajah kolektif dari para korban penculikan. Leila tidak menulis sejarah dari ketinggian, tetapi dari mata, tangan, dan batin seorang manusia biasa yang direnggut dari hidupnya.
Kekuatan Laut Bercerita terletak pada kemampuannya menggabungkan dua sisi narasi: sebelum dan sesudah hilangnya Biru Laut. Bagian pertama penuh semangat perlawanan dan diskusi ideologis yang sangat kontekstual; bagian kedua, disuarakan oleh adik Laut, menjadi elegi sunyi atas kehilangan yang tak punya makam. Inilah sastra yang menjembatani ruang publik dan privat dengan sangat halus.
Gaya narasi Leila puitis tanpa kehilangan kejelasan. Simbolisme laut, cahaya, dan keheningan digunakan berulang untuk menekankan isolasi dan harapan yang tak pernah padam. Novel ini tidak menggurui pembaca tentang sejarah, tapi mengajak kita merasakannya. Dan dalam perasaan itulah, kesadaran dibangun.
Penutup
Pada akhirnya, Laut Bercerita bukan hanya tentang Biru Laut. Ia adalah kisah tentang ribuan nama yang tak tertulis, wajah-wajah yang tak dikenang, dan keluarga yang menunggu tanpa kepastian. Leila S. Chudori membuktikan bahwa sastra bisa menjadi rumah bagi mereka yang kehilangan suara, dan novel ini menjadi semacam tugu ingatan yang tak bisa dirobohkan oleh waktu. Dalam kesunyiannya, laut memang bercerita—dan kita sebagai pembaca diajak untuk mendengarkan, mengingat, dan tak melupakan.