Cinta yang Terkoyak Sejarah dalam Bayang-Bayang Buru
Amba adalah novel yang membawa pembaca pada ruang di mana cinta, sejarah, dan ideologi beradu tanpa ampun. Laksmi Pamuntjak mengambil tragedi politik 1965 sebagai latar, namun tidak menjadikannya pusat mutlak, melainkan bingkai bagi kisah tentang manusia—yang mencintai, kehilangan, dan mencari makna dalam reruntuhan sejarah.
Tokoh utama, Amba, adalah perempuan dengan kekuatan dan kerentanan yang kontras. Melalui dirinya, Laksmi menghadirkan perspektif perempuan yang terhimpit antara nilai-nilai tradisi, pilihan pribadi, dan kekacauan politik. Cinta Amba pada Bhisma bukan hanya cinta personal, tetapi cinta yang diuji oleh sejarah yang menelan banyak hidup.
Yang menjadikan Amba sangat istimewa adalah kedalaman naratifnya. Laksmi menulis dengan gaya liris yang kaya referensi mitologi, terutama dari Mahabharata. Nama-nama tokoh, terutama Amba dan Bhisma, bukan sekadar simbol, melainkan representasi narasi besar yang dipelintir dan dihadirkan kembali dalam konteks Indonesia modern.
Pendekatan intertekstual dalam novel ini sangat kuat. Kita tidak hanya diajak memahami sejarah G30S/PKI dan kamp konsentrasi Buru, tapi juga merenungkan tentang bagaimana tubuh perempuan dipolitisasi, dan bagaimana cinta bisa bertahan (atau justru runtuh) dalam rezim yang menolak kasih sebagai kekuatan.
Penutup
Amba adalah novel yang berani menembus batas-batas narasi cinta tradisional dan menempatkannya dalam pusaran sejarah dan eksistensi. Laksmi Pamuntjak menghadirkan tokoh perempuan yang kompleks, dan melalui kisahnya, kita melihat bagaimana cinta bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap pelupaan. Dalam ketegangan antara mitologi dan sejarah, antara tubuh dan ideologi, Amba berbicara dengan tenang namun mengguncang. Ini bukan hanya tentang dua orang yang saling mencinta, tapi tentang bangsa yang terus bergulat dengan kenangan dan luka-lukanya sendiri.