KRITIK NOVEL :”CANTIK ITU LUKA”

Tubuh, Kutukan, dan Satir Sejarah dalam Sastra Grotesk

Dalam Cantik Itu Luka, Eka Kurniawan menunjukkan bahwa sejarah bisa dibaca dengan cara yang tidak konvensional—dalam tawa getir, absurditas, dan keindahan yang menyakitkan. Novel ini adalah perpaduan antara realisme magis, satir sejarah, dan eksplorasi brutal terhadap tubuh dan kekuasaan.

Tokoh utama Dewi Ayu, perempuan pelacur yang bangkit dari kubur setelah dua puluh satu tahun, bukanlah tokoh biasa. Ia adalah alegori atas Indonesia yang bangkit dari luka kolonial, perang, kekerasan seksual, dan tragedi politik. Melalui hidupnya yang tragis dan penuh ironi, Eka menghadirkan potret bangsa dalam rupa perempuan.

Dengan pendekatan pascakolonial dan simbolis, novel ini menelanjangi cara sejarah membentuk tubuh perempuan sebagai arena konflik: diperebutkan, disakiti, dan pada akhirnya dilupakan. Eka tidak menulis sejarah dengan narasi resmi, tetapi dengan humor gelap dan gaya grotesk. Ia menyandingkan hal-hal sublim dengan vulgaritas dalam satu kalimat yang utuh.

Bahasa dalam Cantik Itu Luka tajam dan penuh ironi. Kalimat-kalimatnya tak segan menyentuh tabu, justru untuk membongkar kemunafikan masyarakat. Eka bukan hanya menulis untuk dinikmati, tapi juga untuk digelisahkan. Dalam dunia fiksinya, yang paling cantik justru yang paling menderita. Maka lahirlah pertanyaan eksistensial: benarkah cantik itu berkah, atau kutukan?

Penutup

Dengan Cantik Itu Luka, Eka Kurniawan menciptakan dunia yang memantulkan absurditas sejarah kita sendiri. Ia menulis dengan keberanian dan kebrutalan yang menggugah, menjadikan tokoh-tokohnya sebagai cermin retak dari masyarakat. Di tengah parade kekerasan, humor hitam, dan kecantikan yang melukai, novel ini menantang pembaca untuk berpikir ulang: tentang tubuh, kuasa, dan cara kita memahami sejarah. Pada akhirnya, keindahan dalam novel ini bukan untuk dirayakan, melainkan untuk dipertanyakan—dan dari pertanyaan itulah, lahir kesadaran yang tak lagi bisa ditutup.