Di balik hiruk-pikuk jalanan dan arsitektur yang menjulang, kota menyimpan lapisan-lapisan kisah yang kerap tak terucap. Dalam dunia sastra, kota bukan hanya sekadar latar tempat. Ia adalah ruang psikis, medan trauma, dan bahkan tokoh yang hidup dalam diam. Kota dapat menyembunyikan, mengungkap, atau menekan. Kota menjadi tempat pulang yang tak lagi ramah, atau ruang asing yang malah menjadi tempat menyembuhkan. Dan dalam keheningan kota itulah, sastra hadir untuk menangkap denyut yang sering kali tak terdengar.
Dalam karya-karya Joko Pinurbo, misalnya, kota hadir dalam bentuk yang sangat personal. Ia menulis kota sebagai ruang kenangan, kadang dalam potret yang sureal, kadang dalam kegetiran sehari-hari. Dalam puisinya, kamar mandi menjadi tempat kontemplasi, jalan menjadi tempat perenungan sunyi, dan warung menjadi panggung kecil dari absurditas hidup. Kota yang ditulis Joko bukan Jakarta dengan gemerlapnya, melainkan Jakarta yang sepi di tengah keramaian, kota yang memantulkan keterasingan warganya sendiri. Dalam puisi “Celana,” misalnya, kota hadir bukan sebagai latar modernitas, tetapi sebagai lorong memori tentang tubuh, trauma, dan pengasingan diri.
Sementara itu, Nh. Dini dalam novel-novelnya sering menjadikan kota sebagai latar bagi pergulatan perempuan dengan nasibnya. Kota dalam karya Nh. Dini tidak netral. Ia adalah kota yang menindas dengan struktur sosialnya, namun sekaligus menawarkan kemungkinan untuk merdeka. Dalam novel Pada Sebuah Kapal, misalnya, kota menjadi ruang pelarian, tetapi juga tempat luka-luka masa lalu menganga kembali. Kota tidak lagi menjadi simbol kemajuan atau pembangunan, melainkan cermin dari pergulatan identitas perempuan yang terseret oleh arus nilai dan tradisi.
Okky Madasari dalam Maryam menjadikan Bandung sebagai kota yang diam-diam menyimpan represi. Kota yang dikenal romantis dan berbudaya itu justru menjadi tempat eksklusi bagi tokoh utamanya, Maryam, seorang Ahmadiyah yang terusir dari komunitasnya. Bandung, dengan gedung-gedung kolonialnya, tidak memberikan pelukan, melainkan sunyi yang mencubit. Di tangan Okky, kota menjadi mesin sosial yang menggilas mereka yang berbeda. Dan dalam ketidakadilan itu, sastra menangkap denyut kesepian yang tak tampak di koran-koran atau siaran berita.
Tak kalah penting, kita juga melihat bagaimana Umbu Landu Paranggi menulis kota dari sudut pandang pinggiran. Puisi-puisinya tentang Yogyakarta bukanlah puisi tentang kemegahan, tetapi tentang ruang-ruang yang hampir terlupakan. Jalan kecil, toko buku sepi, malam yang tak berujung—semua menjadi simbol dari keterasingan, perenungan, dan kerinduan akan rumah yang sebenarnya. Kota dalam puisi Umbu adalah metafora dari jiwa yang tidak tenang, dari ingatan yang terus mengendap tanpa kepastian.
Apa yang kita pelajari dari berbagai potret ini adalah bahwa kota dalam sastra bukanlah entitas yang tetap. Ia berubah seiring siapa yang melihat, dari mana ia ditulis, dan pengalaman macam apa yang ditumpahkan ke dalamnya. Kota bagi si miskin berbeda dengan kota bagi si kaya. Kota bagi perempuan berbeda dengan kota bagi laki-laki. Kota bagi penyair berbeda dengan kota bagi birokrat. Dan dalam sastra, semua perbedaan itu menemukan tempat untuk bersuara.
Kota, dengan segala riuhnya, justru menjadi wadah bagi kesunyian yang paling mendalam. Sastra memiliki kekuatan untuk membekukan momen-momen kecil—seorang perempuan yang menatap jendela di lantai 12 sebuah apartemen, seorang penyair tua yang menyalakan rokok di trotoar yang lengang, seorang anak kecil yang tersesat di tengah pasar malam. Semua fragmen itu, yang sering kali luput dari perhatian sejarah dan politik, justru ditangkap dengan peka oleh para penulis sastra. Di sinilah kota bukan sekadar geografi, melainkan geopsikologi—peta batin manusia yang berusaha hidup, mencari makna, dan bertahan di tengah ketidakpastian.
Sastra juga memunculkan kota yang tidak benar-benar ada. Kota-kota fiktif yang dibangun dari keping-keping kenangan, harapan, dan luka kolektif. Kota seperti ini bisa kita temui dalam fiksi surealis, dalam puisi-puisi eksperimental, atau dalam novel-novel yang membaurkan batas antara realitas dan imajinasi. Dalam karya seperti ini, kota tidak hanya menjadi tempat peristiwa, tetapi peristiwa itu sendiri. Kota menjadi ingatan. Kota menjadi pertanyaan.
Tulisan diatas membuka pemahaman bahwa kota bukan sekadar ruang geografis dalam narasi sastra, melainkan medan eksistensial. Ia berbicara tentang yang tersembunyi. Ia menyimpan suara-suara yang tertinggal. Dan dalam setiap langkah kaki yang ditulis, kita mendengar gema dari yang telah pergi maupun yang belum sempat kembali.
Jika dalam sebelumnya kita menelisik bagaimana kota berfungsi sebagai ruang batin dalam karya sastra Indonesia, maka tahap kelanjutan ini akan mengembangkan wacana itu lebih jauh: bagaimana kota menjadi ruang perlawanan, ruang kehilangan, dan ruang pencarian diri. Kota tidak lagi sekadar kanvas yang pasif, tetapi turut aktif menciptakan konflik, membentuk narasi, dan bahkan mengubah karakter tokoh dalam sebuah karya.
Dalam karya Ayu Utami seperti Saman, kota Jakarta digambarkan sebagai ruang yang penuh kontradiksi—liberal dan represif dalam waktu yang bersamaan. Kota yang membuka peluang kebebasan seksual dan pemikiran, namun pada saat yang sama juga menyimpan represi politik dan luka masa lalu. Kota dalam Saman adalah ladang pertempuran antara nilai lama dan baru, antara tubuh dan sistem. Ketika tokoh-tokohnya menyusuri lorong-lorong kota, yang sesungguhnya mereka jelajahi adalah kegelisahan eksistensial yang tak pernah usai.
Hal yang serupa kita jumpai dalam puisi-puisi Afrizal Malna, di mana kota hadir sebagai artefak modernitas yang kacau. Kota tidak digambarkan indah, melainkan penuh barang rongsokan, kabel listrik, beton, dan kekacauan visual. Dalam puisinya, kota menjadi tempat di mana bahasa menjadi gagap, di mana komunikasi hancur oleh kepadatan simbol dan barang. Kota adalah ruang postmodern yang membingungkan dan membuat manusia kehilangan orientasi. Sastra di sini tidak berusaha memperindah kota, tapi justru membeberkan kegilaannya.
Lain halnya dengan karya-karya Leila S. Chudori seperti Pulang, di mana kota menjadi ruang pengasingan dan sekaligus ruang nostalgia. Paris dan Jakarta dalam novel ini bukan hanya tempat berpijak tokoh, tetapi medan ingatan yang saling bertabrakan. Kota menyimpan sejarah politik, cinta yang tertinggal, dan luka akibat ketercerabutan identitas. Dalam Pulang, kota menjadi representasi dari perasaan “tidak pulang-pulang” yang dialami para eksil. Kota membentuk kerinduan yang tak pernah bisa benar-benar diobati.
Kota juga menjadi semacam museum luka dalam puisi-puisi Hasan Aspahani dan Goenawan Mohamad. Jakarta ditulis bukan dari kemegahannya, tetapi dari detak jam tua, dari senyap malam di jalanan, dari spanduk yang sobek ditiup angin. Kota adalah arsip kenangan yang tak tertata. Dalam puisi-puisi ini, kota menjadi tempat berkabung yang diam-diam. Di balik bangunan pencakar langit, ada jejak-jejak sejarah yang dilupakan. Dan tugas sastra adalah mengingatkannya kembali—bahwa kota tidak hanya dibangun oleh semen dan besi, tetapi juga oleh air mata dan puisi.
Menariknya, dalam karya-karya penulis muda kini, kota juga tampil sebagai tempat alienasi generasi digital. Cerpen-cerpen dari Koran Tempo, Kompas, atau buku kumpulan cerpen dari penulis kontemporer seperti Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie menunjukkan bahwa kota kini bukan lagi simbol modernitas optimistik, tetapi medan kecemasan. Karakter-karakter muda urban sering merasa kesepian meski dikelilingi ribuan orang, terhubung secara digital namun tercerabut secara emosional. Mereka menghuni apartemen, kafe, coworking space, tapi tetap merasa terasing. Kota telah menjadi lanskap pascaidentitas—tempat di mana segalanya ada, namun makna sulit dicari.
Di titik ini, kita bisa menyimpulkan bahwa sastra Indonesia telah dan terus mengembangkan kota sebagai ruang naratif yang dinamis. Dari kota sebagai ruang kenangan, kota sebagai ruang represi, kota sebagai tempat asing, hingga kota sebagai ruang eksil dan kerinduan. Semua fungsi itu menunjukkan satu hal: kota dalam sastra adalah medan simbolik. Ia menyimpan dan membebaskan. Ia menyembunyikan dan menyingkapkan. Ia membingungkan dan mengilhami. Dan yang paling penting, kota adalah tempat manusia diuji tentang siapa dirinya di tengah keramaian yang tampaknya acuh.
Sastra membuat kota bicara. Dalam karya para sastrawan, kota tidak lagi hanya latar, tetapi pelaku. Ia punya suara, punya sikap, punya sejarah, dan punya luka. Dengan membaca kota melalui sastra, kita tidak hanya mengenal tempat, tapi juga mengenal diri sendiri—karena kota, dalam bentuknya yang paling jujur, adalah cermin dari kegelisahan manusia yang terus bertanya: ke mana aku pulang?