Subuh baru saja menggeliat, ketika dingin masih menggantung di udara dan kabut tipis menyelimuti pekarangan. Kinara sudah duduk di depan tungku, meniup api pelan-pelan sambil memanaskan air untuk ibunya. Wajahnya tampak mengantuk, tapi tangannya cekatan. Hari baru telah tiba, dan seperti biasa, tanggung jawab menunggunya sejak matahari belum juga naik.
Setelah membantu ibunya mempersiapkan sayuran yang akan dijajakan keliling desa, Kinara bergegas mengganti seragam. Dito masih tertidur, sementara Lani merengek kecil di dipan bambu. Kinara menghampiri adiknya, mengusap rambutnya dengan lembut, lalu menyuapinya bubur yang sempat ia siapkan malam tadi.
“Jangan rewel, ya. Kakak mau sekolah dulu. Nanti siang kakak pulang cepat,” bisiknya sambil mencium dahi Lani.
Di sekolah, Kinara tak hanya dikenal sebagai murid pandai, tetapi juga pendiam dan sederhana. Nilai-nilainya selalu yang tertinggi di kelas. Ia selalu duduk di bangku paling depan, mencatat dengan rapi, menyimak setiap penjelasan guru dengan penuh perhatian. Namun diam-diam, ia sering membawa kegelisahan dari rumah—tentang uang sekolah yang belum lunas, tentang ibunya yang semakin sering batuk, dan tentang ayahnya yang akhir-akhir ini pulang lebih malam karena proyek bangunan makin berat.
Hari itu, saat istirahat, teman sekelasnya, Rani, menghampirinya.
“Kin, besok kita ada studi wisata ke museum kota. Kamu ikut, kan?” tanya Rani ceria.
Kinara terdiam. Biaya studi wisata itu bahkan lebih mahal dari belanja mingguan ibunya. Ia menggeleng pelan.
“Aku nggak ikut, Ran. Lagi nggak bisa,” jawabnya singkat, berusaha tersenyum.
“Tapi sayang banget, kamu kan suka sejarah!” Rani terlihat kecewa, tapi tak mendesak lebih jauh.
Sore harinya, setelah pulang sekolah, Kinara langsung menjemput Lani dari rumah Bu Narti, tetangga mereka yang sesekali menjaga Lani saat Sari harus berdagang lebih jauh. Di rumah, Kinara menyapu halaman, mencuci piring, dan menyiapkan air untuk mandi adiknya. Lalu ia duduk di pojok ruangan, membuka buku pelajaran dengan lampu petromaks yang berkelip pelan.
Namun malam itu, Kinara tak bisa menahan lelah. Saat tengah menghafal materi IPA, ia tertidur dengan kepala tertunduk di atas buku, pena masih tergenggam di tangan. Sari yang baru pulang melihatnya dan hanya bisa terdiam sebentar sebelum menyelimuti tubuh anaknya dengan kain tipis.
Keesokan paginya, saat sarapan, Sari menyodorkan sebuah amplop kecil ke Kinara.
“Ini dari Bapak. Katanya buat kamu ikut studi wisata. Jangan terlalu mikir soal uang, Nak. Cita-citamu itu penting.”
Kinara menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu betapa sulitnya keluarga mereka mengumpulkan uang sekecil itu. Tapi kehangatan dari pengorbanan itu jauh lebih besar dari sekadar angka.
Ia mengangguk pelan, menggenggam tangan ibunya, dan berkata lirih, “Terima kasih, Bu. Kinara janji akan belajar lebih keras lagi.”
Di balik tawa Lani yang berlarian di halaman, dan suara sendok yang beradu pelan dengan piring, pagi itu terasa berbeda. Ada hangat yang tumbuh, meski mereka masih tinggal di tengah keterbatasan.
Karena untuk mereka, mimpi tak perlu mewah—cukup dengan cinta dan kerja keras yang tak pernah putus diulang.