KN-10: SERAGAM BARU

Pagi itu, matahari masih malu-malu muncul di balik bukit ketika Kinara melangkah masuk ke sekolah. Seragam putihnya sudah memudar, dan bagian lengannya sedikit robek di ujung. Tapi seperti biasa, ia tetap berjalan tegak, membawa buku pelajaran di pelukannya dan menyapa guru-guru dengan sopan.

Di ruang guru, Kepala Sekolah Pak Arman tengah memeriksa daftar nilai ketika pandangannya tertumbuk pada sosok kecil yang melewati jendela. Ia menghela napas pelan, lalu memanggil guru wali kelas Kinara.

“Seragam Kinara… sepertinya sudah terlalu lama dipakai,” ucapnya dengan nada prihatin. “Dia murid yang luar biasa. Kita tak boleh membiarkan semangatnya redup hanya karena hal-hal seperti itu.”

Setelah jam sekolah berakhir, Kinara dikejutkan oleh panggilan dari Pak Arman. Di ruang kepala sekolah, Kinara duduk dengan gugup, tak tahu apa yang akan disampaikan.

“Kamu sehat, Kinara?” tanya Pak Arman dengan senyum hangat.

Kinara mengangguk pelan. “Sehat, Pak.”

Pak Arman lalu menyodorkan sebuah kantong plastik putih.

“Ini… seragam baru untukmu. Kamu layak mendapatkannya. Kamu belajar sangat baik, dan kami semua bangga padamu.”

Mata Kinara membulat, lalu perlahan berkaca-kaca. Ia menggenggam kantong itu erat-erat, seperti seseorang yang baru saja menerima hadiah paling berharga di dunia.

“T-terima kasih, Pak… Saya… nggak tahu harus bilang apa…”

Pak Arman tersenyum lebih lebar. “Belum selesai. Hari ini, kamu ikut saya dulu sebentar, ya?”

Sepanjang perjalanan dari sekolah, Kinara duduk di boncengan sepeda motor Pak Arman, memeluk tas kecilnya dan menunduk diam. Di dalam hatinya, ada rasa syukur yang begitu dalam. Mereka berhenti di sebuah toko pakaian sederhana di kota kecamatan. Di sana, Pak Arman meminta Kinara memilih dua stel seragam dan satu pasang sepatu baru.

Dan ketika Kinara mengira itu sudah lebih dari cukup, Pak Arman malah mengajaknya mampir ke sebuah warung makan kecil di pinggir jalan. Mereka duduk berhadapan. Kinara memesan semangkuk bakso dan segelas es teh. Saat suapan pertama menyentuh lidahnya, ia nyaris menitikkan air mata.

“Enak?” tanya Pak Arman sambil tertawa kecil melihat ekspresi Kinara yang penuh takjub.

“Enak sekali, Pak…” jawabnya pelan. “Ini… ini makanan paling enak yang pernah saya makan…”

Pak Arman hanya mengangguk, tak ingin memperpanjang kata-kata. Ia tahu, di balik kesederhanaan gadis kecil ini, tersimpan ketangguhan yang tak semua orang punya.

Dalam perjalanan pulang, langit sore menguning, dan angin terasa lembut. Kinara memeluk bungkusan seragam dan sepatu seperti memeluk harapan yang baru. Hari itu, ia tidak hanya membawa pulang pakaian baru, tapi juga perasaan bahwa dunia tidak sepenuhnya keras—kadang, masih ada tangan-tangan baik yang hadir di tengah jalan.