KETIKA KOIN TERAKHIR MENGAJARI ARTI IKHLAS

Ada masa dalam hidup saya ketika satu koin lima puluh rupiah bisa terasa seperti harta karun terakhir. Bukan karena nilainya, tentu saja—bahkan waktu itu koin kuning kecil itu sudah nyaris tidak diterima di warung. Tapi karena memang itu satu-satunya yang saya miliki. Saat itu saya masih kuliah, tinggal di sebuah kamar kos kecil yang lebih mirip laci lemari, dan sedang berada di titik paling kering dalam sejarah keuangan pribadi saya.

Kiriman dari orang tua belum datang. Perut saya sudah berdemo sejak pagi. Warung depan sudah bosan saya tanya “besok aja ya, Bu?” Hampir semua pilihan sudah habis, kecuali duduk termenung di depan kos sambil menatap koin 50 itu. Seolah berharap koin itu bisa berubah menjadi semangkuk mie instan atau minimal… segelas teh manis.

Dan di tengah kondisi seperti itu—perut kosong, dompet tipis, harapan menipis—tiba-tiba muncul suara tembang Jawa dari ujung gang. Suara itu sumbang, dengan ritme tepuk tangan yang tidak selaras. Tapi justru karena itu, saya langsung tahu: ini akan jadi hari yang tak biasa.

Dari ujung gang, muncullah sosok kakek-kakek bertopi lusuh, mengenakan jaket tipis yang warnanya sudah menyatu dengan debu. Di tangannya tak ada gitar, tak ada angklung, hanya dua telapak tangan yang terus bertepuk mengiringi suaranya yang mendayu-dayu tapi… tidak tahu nada. Lagu yang dibawakannya adalah “Ilir-Ilir”, dibumbui sedikit gaya improvisasi—terutama karena nada yang dinyanyikan tidak ada dalam skala musik manapun yang saya kenal.

Saya duduk terdiam, menahan tawa dan lapar dalam satu waktu. Beberapa anak kos yang lain memilih masuk kamar, pura-pura tidur, atau memasang headset. Tapi entah kenapa, saya justru merasa terpanggil. Mungkin karena kakek itu tampak begitu tulus, begitu yakin dengan performanya. Atau… karena satu-satunya koin yang saya punya, tiba-tiba terasa terlalu egois untuk saya simpan sendiri.

Dengan perasaan campur aduk, saya bangkit dari kursi plastik depan kos. Saya hampiri si kakek yang terus bernyanyi sambil tersenyum. Setelah lagu selesai, saya keluarkan koin itu dari saku celana dan berkata pelan, “Ini, Kek… saya cuma punya ini. Tapi kembalinya 25 rupiah ya.”

Kakek itu mendadak hening. Ia menatap koin itu lama, lalu mengangkat kepalanya dan menatap saya. Mungkin dalam benaknya berkecamuk pertanyaan: “Masih ada ya manusia yang minta kembalian dari uang lima puluh rupiah?”

Setelah beberapa detik yang terasa seperti adegan sinetron slow motion, ia menjawab sambil terkekeh, “Waduh, Mas… kembalian 25-nya nggak ada. Tapi… gimana kalau saya tambahin satu lagu lagi aja? Bonus.”

Saya ingin protes. Ingin bilang bahwa yang saya butuh bukan hiburan, tapi makan siang. Tapi tentu saja, mana mungkin saya tega membantah seorang kakek yang sudah sepenuh hati menawarkan… konser pribadi.

Dan akhirnya, satu lagu tambahan pun dimulai. Kali ini “Padang Bulan”, dibawakan dengan semangat penuh, nada tetap sumbang, dan tepuk tangan tetap offbeat. Saya berdiri di situ seperti patung, antara menghormati dan menyesal. Bayangkan, hanya karena ingin berbagi, saya sekarang harus menikmati satu lagu tambahan sambil menatap perut yang semakin berteriak.

Saat lagu selesai, kakek itu menepuk bahu saya, mengangguk bangga, lalu berjalan pergi perlahan—meninggalkan saya berdiri dengan tangan kosong, kepala pusing, dan hati yang… entah kenapa tetap hangat.

Saya berdiri di sana, menatap punggung si kakek yang semakin menjauh, sementara satu-satunya koin yang saya miliki telah berpindah tangan. Rasanya absurd, aneh, dan sedikit bingung. Saya datang dengan harapan akan sedikit pertolongan, sedikit bantuan. Tapi yang saya dapatkan justru sesuatu yang lebih… tidak terduga.

Lama setelah si kakek menghilang, saya duduk kembali di depan kos, dengan perut yang masih lapar dan pikiran yang agak kacau. Saat itu saya merasa seolah telah berbuat bodoh. Memberi uang satu-satunya yang saya punya dan malah ditambah dengan lagu sumbang sebagai “bonus”? Rasanya seperti lelucon yang pahit. Tapi semakin saya berpikir, semakin saya menyadari satu hal—saya baru saja menerima pelajaran hidup dari cara yang paling tidak terduga.

Kakek itu, dengan keikhlasannya yang tulus, justru mengajarkan saya tentang memberi tanpa mengharap kembali. Pada akhirnya, memberi bukan soal mendapatkan kembalian, bukan soal seberapa besar yang kita berikan, melainkan soal seberapa besar hati kita bisa berbagi. Dan kakek itu—meskipun tidak tahu apa yang saya rasakan—sudah memberiku lebih dari sekadar uang. Dia memberiku waktu, perhatian, dan satu lagu penuh semangat yang, meskipun sumbang, lebih berarti daripada sepotong nasi.

Saya sadar, saat itu, bahwa hidup memang penuh dengan ketidakpastian. Kita tak selalu mendapatkan apa yang kita harapkan. Uang tidak selalu datang tepat waktu, bahkan apa yang kita beri seringkali tidak berbalas seperti yang kita inginkan. Tapi itu bukan alasan untuk berhenti memberi, atau bahkan menghitung-hitung seberapa banyak kita telah memberikan. Yang penting adalah ketulusan dalam memberi, seperti yang dilakukan si kakek—menerima apa adanya, dan memberikan yang terbaik, meskipun hanya dengan lagu yang agak sumbang.

Ketika saya menatap dompet saya yang kosong setelah pertemuan itu, saya tidak merasa menyesal. Justru, saya merasa diberkati. Karena pelajaran yang saya dapatkan—tentang ikhlas, tentang memberi dengan hati yang lapang—lebih berharga daripada kembalian 25 rupiah yang tidak pernah ada.