Di benak banyak orang, sastra anak sering kali diasosiasikan dengan dunia penuh warna, tawa, dan akhir bahagia. Dongeng-dongeng tradisional maupun cerita modern dianggap sebagai pelipur lara bagi masa kecil, tempat segala hal berjalan dengan baik pada akhirnya. Namun, jika kita menilik lebih dalam, banyak karya sastra anak justru memuat unsur kesedihan, ketakutan, bahkan kehilangan. Mengapa anak-anak, makhluk kecil yang katanya harus dilindungi dari duka dunia, disuguhi kisah-kisah yang gelap dan getir?
Pertanyaan itu tidak sederhana, dan jawabannya pun mengandung kompleksitas psikologis dan budaya yang kaya. Anak-anak, meski belum dewasa secara kognitif, memiliki dunia emosi yang dalam. Mereka juga mengalami kesepian, kehilangan, ketakutan—meski mungkin belum bisa melafalkannya seperti orang dewasa. Sastra anak yang baik justru memberi mereka bahasa untuk memahami dan menamai pengalaman-pengalaman itu.
Mari kita mulai dari cerita-cerita rakyat Indonesia, yang kerap diajarkan kepada anak-anak sejak dini. Malin Kundang, misalnya, adalah kisah tentang anak durhaka yang dikutuk menjadi batu oleh ibunya. Di permukaannya, ini adalah cerita moral tentang pentingnya menghormati orang tua. Namun di balik itu, ada narasi kehilangan dan kutukan yang menyayat: seorang ibu yang ditolak oleh anak kandungnya, dan seorang anak yang dibekukan selamanya oleh kemarahan dan penyesalan.
Demikian pula dengan Timun Mas, yang berkisah tentang seorang gadis kecil yang harus berlari menyelamatkan diri dari raksasa jahat yang hendak memangsanya. Ada rasa takut, perjuangan, bahkan ancaman kematian dalam kisah ini. Tetapi anak-anak membacanya tidak hanya sebagai cerita menegangkan, melainkan sebagai pelajaran bahwa keberanian bisa hadir dalam tubuh sekecil apa pun. Trauma dan ketakutan dihadirkan bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk memperkuat daya lenting emosional.
Kita bisa menyambungkan benang ini ke ranah sastra anak modern. Coraline karya Neil Gaiman adalah contoh menonjol dari bagaimana kesedihan dan horor eksistensial dapat dibungkus dalam kisah anak. Coraline menemukan sebuah dunia alternatif di balik pintu rahasia rumahnya, tempat semua tampak lebih baik dari dunia nyata—ayah dan ibunya yang perhatian, makanan enak, dan rumah yang hangat. Namun, dunia itu ternyata berbahaya, palsu, dan menyeramkan. Coraline harus menghadapi “ibu lain” yang ingin menjebaknya selamanya.
Di balik kisah fantasi ini, Coraline berbicara tentang kesepian anak-anak dalam keluarga modern, rasa terabaikan, dan keberanian menghadapi kegelapan. Gaiman tidak memberikan dunia steril pada pembacanya yang muda. Sebaliknya, ia mempercayai bahwa anak-anak mampu memahami dan mengelola rasa takut, asalkan disajikan dalam bentuk yang sesuai dengan dunia imajinatif mereka.
Kesedihan dalam sastra anak tidak hadir sebagai sensasi, tetapi sebagai jembatan. Ia menjembatani pengalaman emosional yang belum bisa dijelaskan secara rasional. Dalam kehidupan nyata, anak-anak mengalami perceraian orang tua, kehilangan kakek-nenek, kematian hewan peliharaan, atau sekadar perpindahan rumah yang membuat mereka merasa kehilangan lingkungan akrab. Ketika tidak ada orang dewasa yang bisa menjelaskan semua itu dengan tepat, sastra hadir sebagai teman.
Kita juga tidak boleh lupa bahwa banyak penulis anak adalah orang-orang dewasa yang menulis dengan nostalgia dan empati terhadap luka masa kecil mereka sendiri. Mereka tidak sedang menciptakan dunia sempurna untuk pelarian, melainkan menawarkan kenyamanan melalui pengakuan: bahwa luka itu ada, bahwa kesedihan itu nyata, dan bahwa tidak apa-apa untuk merasa hancur. Dalam dongeng dan cerita, anak-anak menemukan bahwa mereka tidak sendirian.
Ada satu alasan penting lainnya mengapa kesedihan tetap relevan dalam sastra anak: karena ia menciptakan ruang reflektif. Anak-anak yang membaca kisah sedih belajar mengenali emosi mereka sendiri dan orang lain. Mereka belajar empati. Ketika seorang anak membaca tentang tokoh yang kehilangan orang tua atau harus berjuang sendiri, mereka belajar bahwa hidup memiliki liku, bahwa tidak semua keinginan terpenuhi, dan bahwa kebahagiaan sering kali datang setelah penderitaan.
Lebih jauh, kesedihan dalam sastra anak juga menjadi alat kebudayaan. Dalam banyak masyarakat, cerita sedih untuk anak-anak digunakan untuk menanamkan nilai, mengingatkan pada sejarah, atau bahkan membentuk identitas kolektif. Dalam cerita rakyat misalnya, tragedi bukan hanya elemen naratif, tetapi juga bentuk pengajaran moral yang halus. Anak-anak diajak untuk merenungkan akibat dari pilihan, dari keangkuhan, dari kelalaian terhadap tanggung jawab.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa bukan semua kesedihan cocok untuk anak. Sastra anak yang efektif adalah yang mampu menyeimbangkan duka dan harapan. Tujuan utamanya bukan membuat anak takut atau putus asa, tetapi membekali mereka dengan cara melihat bahwa meskipun dunia tidak selalu adil, mereka bisa kuat, mereka bisa bertahan, dan mereka tidak sendiri.
Dengan demikian, kesedihan bukanlah musuh masa kecil. Justru dalam kesedihan yang diolah lewat sastra, anak-anak belajar memahami kehidupan secara lebih utuh. Dongeng tak harus selalu bahagia. Karena dalam dongeng yang getir pun, harapan tetap menyala. Dan di sanalah kekuatan sastra anak yang sesungguhnya.
Di banyak budaya, cerita anak sering dipandang sebagai alat untuk memberi pelajaran moral dan membentuk karakter. Sastra anak tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga ruang untuk memahami dunia yang lebih kompleks, di mana hidup tidak selalu mudah dan bahagia. Namun, jika kita menggali lebih dalam, akan kita temui kenyataan bahwa kesedihan dalam sastra anak lebih dari sekadar elemen naratif; ia adalah bagian dari proses pertumbuhan dan pemahaman diri.
Di dunia sastra anak, tokoh-tokoh yang menghadapi kesulitan sering kali diberi peluang untuk mengatasi tantangan tersebut dengan cara yang mengajarkan anak-anak tentang keberanian, keteguhan, dan empati. Sebagai contoh, dalam novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan, meskipun cerita ini lebih sering dibaca oleh pembaca dewasa, banyak nilai-nilai yang relevan bagi anak-anak: bagaimana kita menghadapi ketakutan, dan bagaimana kesedihan dan kehilangan dapat membuka ruang bagi penerimaan dan penyembuhan.
Dalam konteks ini, kesedihan bukan hanya representasi dari kehilangan, tetapi juga sebagai katalisator pertumbuhan karakter. Karakter yang terpaksa menghadapi kenyataan pahit seringkali tumbuh lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih penuh empati. Karya-karya seperti Coraline karya Neil Gaiman menunjukkan kepada pembaca muda bahwa meskipun mereka menghadapi ancaman, kesendirian, dan rasa terasing, ada kekuatan dalam menghadapi ketakutan mereka. Coraline yang kecil berani melawan ibu lain yang menakutkan, bukan karena dia tak takut, tetapi karena dia menghadapinya dengan keberanian yang terlahir dari kesedihan dan ketakutannya sendiri.
Sastra anak juga dapat mempersiapkan anak-anak untuk menghadapi kenyataan bahwa kehidupan penuh dengan ketidakpastian. Sebuah dongeng bisa mengajarkan bahwa meskipun kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, kita bisa memilih bagaimana kita meresponsnya. Dalam Timun Mas, meskipun timun mas terancam oleh raksasa, ia menunjukkan ketekunan dan kecerdikan untuk melarikan diri. Ini adalah pelajaran penting bagi anak-anak untuk mengerti bahwa meskipun kita mungkin merasa terjebak dalam situasi sulit, kita selalu bisa mencari jalan keluar dan bertahan.
Dalam dunia yang semakin didominasi oleh media sosial dan tekanan untuk tampil sempurna, sastra anak menawarkan bentuk pelarian yang lebih otentik. Karya sastra memberikan ruang bagi anak-anak untuk mengakui bahwa mereka merasa takut, kesepian, atau cemas tanpa perlu merasa malu atau tidak sah. Keberanian tokoh dalam sastra anak bukan hanya soal melawan monster atau mengalahkan musuh, tetapi juga soal menerima ketakutan, menghadapinya, dan belajar untuk bertransformasi.
Tidak jarang, sastra anak juga menciptakan ruang bagi generasi muda untuk berhubungan dengan trauma kolektif yang lebih besar. Dalam karya-karya yang mengangkat tema perpisahan, kehilangan keluarga, atau kehancuran akibat bencana, anak-anak belajar tentang makna kepahlawanan dalam konteks emosional. Mereka tidak hanya berkenalan dengan kekuatan fisik, tetapi juga kekuatan emosi yang mampu menggerakkan dunia. Cerita-cerita seperti 9 dari Nadira oleh Leila S. Chudori menempatkan kesedihan dalam perspektif yang lebih luas, sebagai bagian dari perjalanan kehidupan yang harus diterima dan dipahami.
Sastra anak juga memperkenalkan konsep ketahanan emosional dan daya juang. Misalnya, dalam The Little Prince karya Antoine de Saint-Exupéry, tokoh utama harus berhadapan dengan rasa kesepian dan kehilangan. Namun, melalui pertemuannya dengan makhluk-makhluk lain, ia belajar banyak tentang arti persahabatan, cinta, dan kehilangan. Walau kisah ini mengandung banyak kesedihan, pesannya bukanlah untuk mengajarkan keputusasaan, tetapi bagaimana kita mengelola kesedihan dengan bijaksana.
Sastra anak yang memuat kesedihan memberi pembaca muda alat untuk mengatasi perasaan tersebut. Mereka belajar bahwa kesedihan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan emosi yang harus dipahami dan diproses. Dalam dunia yang kerap memberikan gambaran palsu tentang kebahagiaan instan, sastra anak berfungsi sebagai pengingat bahwa hidup itu penuh dengan kesulitan, dan kita bisa menghadapinya dengan cara yang sehat dan membangun.
Penting untuk diingat bahwa sastra anak tidak berfungsi untuk menakuti anak-anak atau membuat mereka cemas. Sebaliknya, kesedihan dalam sastra anak hadir sebagai bagian dari proses pembelajaran, memberi ruang untuk ekspresi emosi yang tulus. Setiap cerita yang mengangkat kesedihan juga membawa pesan penting tentang kekuatan dan keberanian untuk melanjutkan perjalanan, meskipun dunia tidak selalu memberi kita apa yang kita inginkan.
Akhirnya, kesedihan dalam sastra anak tidak mengurangi keindahan cerita, justru memberi kedalaman dan makna yang lebih besar. Ketika anak-anak membaca kisah sedih, mereka belajar untuk melihat dunia dengan lebih jujur dan penuh pengertian. Mereka belajar bahwa kesedihan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan, dan bahwa setiap luka pasti bisa sembuh, selama ada ruang untuk merasakannya.