Setiap bulan purnama di Pelataran Candi Prambanan
Setiap bulan purnama, suasana di pelataran barat Candi Prambanan berubah menjadi magis dan memukau. Malam yang terang benderang oleh sinar rembulan menyinari candi-candi megah yang menjulang, seolah menyaksikan pementasan abadi yang terus hidup di tengah zaman—Sendratari Ramayana.
Di teater terbuka, ribuan penonton dari berbagai penjuru negeri dan wisatawan mancanegara memenuhi kursi yang telah disediakan. Suara gamelan mengalun lembut, membuka tirai cerita yang berasal dari kitab epos Ramayana, kisah cinta, pengorbanan, dan perjuangan antara kebaikan dan kejahatan.
“Selamat datang di Prambanan,” suara pembawa acara menggema, “Malam ini, kita akan menyaksikan kisah agung Ramayana. Sebuah kisah tentang perjalanan Rama dalam menyelamatkan Dewi Sinta dari Rahwana, sang raja Alengka.”
Penonton bertepuk tangan riuh. Lampu-lampu perlahan diredupkan, hanya menyisakan cahaya bulan yang menemani suasana sakral.
Pertunjukan dimulai dengan adegan Rama Wijaya dan Dewi Sinta yang sedang menikmati keindahan hutan Dandaka. Tarian yang lembut, gerakan gemulai, dan ekspresi wajah para penari membuat suasana begitu hidup. Penonton menahan napas, menikmati setiap gerakan yang penuh makna.
“Hebat juga, ya,” gumam seorang turis asing di kursi barisan tengah, “Gerakan mereka begitu halus, seperti mengalir bersama angin malam.”
Musik gamelan berpadu dengan suara alam sekitar, menambah kesan mistis yang menyelimuti panggung. Lampu sorot menampilkan keindahan kostum warna-warni para penari, lengkap dengan mahkota emas dan hiasan yang berkilauan.
Adegan berlanjut dengan Rahwana yang menculik Dewi Sinta. Penari yang memerankan Rahwana tampil gagah, dengan gerakan tarian yang kuat dan penuh energi. Suaranya menggelegar, membuat para penonton terbawa suasana mencekam.
Ketika Rama meminta bantuan dari pasukan kera di bawah pimpinan Hanoman dan Sugriwa, suasana panggung menjadi lebih hidup dan meriah. Para penari berpakaian kera menari lincah, melompat, dan berlarian seperti benar-benar berada di medan pertempuran.
“Hebat, Mas, lihat itu Hanomannya!” kata seorang penonton sambil menunjuk penari yang memerankan Hanoman yang melakukan salto.
“Gerakannya mirip kera beneran!” sahut temannya.
Adegan klimaks terjadi saat Hanoman membakar kerajaan Alengka. Panggung berubah menjadi lautan api dengan efek visual yang memukau. Cahaya obor berkobar-kobar, membuat penonton berdecak kagum.
“Ini yang paling keren! Api beneran, lho!” celetuk seorang anak kecil yang menonton bersama keluarganya.
Pertempuran antara Rama dan Rahwana pun tak kalah seru. Tarian dengan gerakan cepat dan pedang beradu menciptakan adegan yang menegangkan. Pada akhirnya, Rama berhasil mengalahkan Rahwana dan menyelamatkan Dewi Sinta, menutup kisah Ramayana dengan kemenangan kebaikan atas kejahatan.
Lampu panggung kembali terang, dan seluruh penari berkumpul di tengah panggung untuk memberikan salam penutup. Penonton bertepuk tangan meriah, beberapa bahkan berdiri sambil bersorak kagum.
Di tengah sorak-sorai penonton yang masih kagum dengan keindahan Sendratari Ramayana, Yono hanya duduk santai di bagian belakang, sambil melipat tangan di dada. Wajahnya terlihat datar, tidak terkesan sama sekali.
“Yon, kok diem aja? Keren banget tadi Hanoman salto-salto!” seru seorang teman yang ikut menonton.
Yono mendengus kecil sambil tersenyum tipis, “Apanya yang keren? Lha wong penari-penari itu orang kampung kita semua. Itu si Bujel yang jadi Hanoman, tiap hari aku lihat dia main di sawah sambil angon kambing.”
Temannya melongo, “Hah, serius?!”
“Iya! Lha, yang jadi Rahwana itu si Gino, tetanggaku sendiri. Waktu latihan di balai desa aja aku udah hafal gerakan mereka. Salto-salto gitu mah, biasa,” Yono menjawab santai, sambil mengambil sebotol minuman dari kantongnya.
Temannya tertawa ngakak, “Waduh, pantesan kamu gak heboh. Sudah biasa nonton latihan, toh?”
“Makanya,” lanjut Yono sambil terkekeh, “Orang kampung kita itu sebenarnya berbakat. Kalau aja ada lomba salto atau menari kuda lumping di olimpiade, bisa juara dunia!”
Mereka berdua tertawa kecil di tengah hiruk pikuk penonton yang masih sibuk berfoto dengan latar belakang panggung dan Candi Prambanan yang megah.
Bagi Yono, Sendratari Ramayana malam itu hanyalah pementasan biasa. Baginya, teman-temannya yang menjadi penari itu hanyalah teman bermain dan teman bercanda sehari-hari. Tapi, siapa sangka, dari desa kecil mereka, lahir para seniman yang mampu memukau dunia di panggung bersejarah nan megah di bawah sinar bulan purnama.
“Ya sudahlah,” kata Yono sambil berdiri, “Lapar, cari wedang ronde dulu yuk!”
“Wedang ronde? Gas!” jawab temannya.
Mereka pun meninggalkan teater terbuka sambil tertawa, sementara di belakang mereka, Candi Prambanan masih berdiri kokoh, menyimpan kisah-kisah abadi dari masa lalu yang terus hidup hingga hari ini.