TUMBAL BUTO IJO

Dikisahkan Yono kepada admin, sebuah kejadian di Klaten tahun 1988, Nama dan tempat disamarkan.

Di sebuah desa kecil di Jawa Tengah, Yono dikenal sebagai pemuda yang sering membantu orang lain dengan kemampuan unik yang ia pelajari dari Mbah Suto Wiryo dan Mbah Martowiyono, dua guru spiritual yang memberi Yono banyak pengetahuan tentang dunia yang tak kasat mata. Suatu hari, Yono mendapat kabar dari tetangganya bahwa ada seorang anak kecil bernama Belong yang tiba-tiba jatuh sakit. Kata dokter, tidak ada penyakit fisik yang ditemukan, hanya tubuhnya yang lemas dan lelah, tetapi insting Yono mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.

Yono merasa ada yang aneh, karena Belong, yang dikenal ceria dan aktif, tiba-tiba tidak bisa bangun dari tempat tidurnya, hanya terbaring lemah, dan sering mengigau sambil menangis ketakutan. Yono mendengar kabar dari orang-orang di sekitar desa bahwa hal serupa pernah terjadi pada kakak Belong beberapa tahun lalu, dan pada akhirnya anak itu meninggal dengan kondisi yang misterius. Yono, yang tidak pernah percaya begitu saja pada penjelasan medis, merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi.

Malam itu, Yono mendatangi rumah Belong, yang terletak agak jauh dari keramaian desa. Ketika ia sampai di depan rumah, ia melihat ibu Belong berdiri di depan pintu dengan wajah cemas, matanya merah karena sering menangis.

“Ibu, bagaimana kondisi Belong?” tanya Yono pelan, menyapa ibu Belong yang tampak kebingungan.

“Yono… saya nggak tahu harus bagaimana lagi. Dokter sudah bilang tidak ada yang salah. Belong cuma lelah, tapi… dia sering teriak, ketakutan, seolah-olah melihat sesuatu yang mengerikan.” Ibu Belong mengusap matanya, terlihat sangat bingung dan khawatir.

Yono mengangguk pelan, merasakan getaran aneh di udara. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan. “Ibu, apakah Belong pernah bilang sesuatu sebelum sakit? Atau ada kejadian aneh di rumah ini?”

Ibu Belong terlihat ragu, lalu menjawab pelan. “Sebelum Belong sakit, dia sering bermimpi buruk, teriak-teriak. Kadang dia bilang… ‘Ayah, tolong jangan, aku takut!’ Tapi saya nggak tahu apa itu berarti…”

Yono merasakan hawa dingin di tengkuknya. Instingnya semakin tajam, mengingatkan dia pada kejadian lama, ketika ada orang yang melakukan pesugihan dan harus menumbalkan anak-anak mereka untuk mendapatkan kekayaan. “Ibu, saya ingin memeriksa Belong. Izinkan saya.”

Setelah mendapat izin dari ibu Belong, Yono masuk ke kamar Belong. Anak kecil itu terbaring lemah, wajahnya pucat, dan matanya terlihat kosong, seperti kehilangan semangat hidup. Yono duduk di samping tempat tidur, menutup mata, dan mulai menerapkan kepekaan yang diajarkan oleh Mbah Suto dan Mbah Martowiyono. Dengan perlahan, Yono mencoba merasakan aura di sekitar Belong.

Betapa terkejutnya Yono saat merasakan getaran energi yang kuat—bukan dari Belong, melainkan dari sekelilingnya. Ada kekuatan yang lebih besar, kekuatan gelap yang mengikat anak itu. Yono bisa merasakan mantra yang terikat pada Belong, mantra yang mengarah pada sebuah tumbal—tumbal yang harus diberikan oleh seseorang untuk memenuhi janji pada makhluk gaib yang disebut Buto Ijo, makhluk penguasa dunia gelap yang meminta darah sebagai janji pembayaran.

“Ini benar… Belong bukan sakit biasa. Dia sedang ditumbalkan,” gumam Yono pelan, meski hatinya terasa berat.

Dia menatap ibu Belong yang berdiri di ambang pintu. “Ibu, apakah ayah Belong tahu tentang ini?”

Ibu Belong hanya terdiam, matanya penuh kesedihan. “Saya takut, Yono. Saya tahu suami saya punya kesepakatan dengan sesuatu yang… saya tidak bisa jelaskan. Saya takut kalau dia benar-benar menumbalkan anak kami.”

Yono merasa perasaan ibu Belong yang berat, penuh rasa takut, dan hampir putus asa. Yono tahu, jika tidak ada yang dilakukan sekarang, Belong akan kehilangan nyawanya dalam waktu dekat.

“Baiklah, saya akan melakukan sesuatu yang harus dilakukan, meskipun ini sangat berisiko.” Yono mengambil dua sendok gula pasir dari meja dan mencelupkannya ke dalam teh panas yang ia bawa. Dengan hati-hati, ia menyuapkan teh tersebut ke mulut Belong, sambil membisikkan doa yang hanya ia pelajari dari Mbah Suto dan Mbah Martowiyono.

Beberapa menit kemudian, tubuh Belong yang semula kedinginan dan lemas mulai menghangat. Keringat dingin di dahinya mengering, dan warna wajahnya kembali memerah sedikit demi sedikit.

Keesokan harinya, Belong terbangun dengan wajah cerah, seakan-akan tidak ada yang terjadi. Ia mulai tertawa dan bermain lagi seperti biasa. Ibu Belong merasa sangat lega, matanya yang tadinya penuh kecemasan kini berubah menjadi penuh kebahagiaan. Belong kembali sehat, bahkan menjadi anak yang lebih ceria dari sebelumnya.

Namun, kebahagiaan itu hanya berlangsung sementara. Beberapa hari setelah Belong sembuh, sesuatu yang lebih mengerikan mulai terjadi.

Ayah Belong tiba-tiba jatuh sakit dengan gejala yang aneh. Tubuhnya gemetar, dan ia merasa sangat lemah, seolah-olah kekuatan hidupnya terkuras habis. Ia mengaku melihat sosok besar dan menyeramkan yang mengintainya, seorang makhluk raksasa dengan tubuh hijau berlumur lumut, yang memanggilnya dengan suara menggelegar, Buto Ijo.

“Buto Ijo datang menagih janji!” teriak ayah Belong dalam ketakutan, matanya kosong, tubuhnya terkulai lemah di tempat tidur.

Ibu Belong yang melihat suaminya menderita pun panik dan meminta tolong kepada Mbah Arjo, dukun terkenal di desa itu. Mbah Arjo datang dengan cepat dan melihat situasi yang mengerikan ini. Ia segera mengetahui bahwa suami Belong telah terikat janji dengan makhluk gaib tersebut, yang sekarang datang untuk menuntut pembayaran.

“Jangan khawatir, saya akan urus ini,” kata Mbah Arjo dengan suara tenang. “Tapi anak ini—” Ia menunjuk ke arah Yono yang berdiri di sudut ruangan, “—harus ikut dalam penyelesaian ini.”

Mbah Arjo memulai ritual yang sangat kuat. Udara di sekitar mereka terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang mengintai di balik bayang-bayang. Tanpa ampun, Buto Ijo datang dengan wajah mengerikan, matanya merah membara, dan tubuhnya besar bagaikan gunung yang datang mendekat.

Namun, Mbah Arjo dengan cepat mengucapkan mantranya dan memanggil kekuatan lebih besar untuk menantang Buto Ijo. Keheningan yang mencekam berlangsung beberapa menit hingga akhirnya Buto Ijo menghilang, mundur dengan kecewa karena tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatan spiritual yang datang dari Mbah Arjo.

Setelah semua selesai, Yono yang merasa lega karena semuanya telah berakhir, langsung dimarahi oleh Mbah Arjo. “Apa yang kau lakukan, Yono? Kau berani menyelesaikan masalah besar ini tanpa izin lebih dulu? Tumbal Buto Ijo bukan urusan main-main!”

Yono menunduk, merasa bersalah meskipun tahu ia telah melakukan hal yang benar. “Maafkan saya, Mbah. Saya hanya ingin membantu.”

Mbah Arjo menghela napas panjang. “Kau sudah banyak belajar, Yono. Tapi ingat, ilmu ini bukan untuk dipakai sembarangan. Setiap tindakanmu akan berdampak besar bagi kehidupan orang lain.”

Meskipun dimarahi, Yono merasa bahwa ia telah belajar sesuatu yang sangat penting—bahwa kekuatan sejati tidak hanya tentang mengalahkan musuh, tetapi tentang bijaksana dalam menghadapi godaan dunia gaib yang gelap.

Sebarkan ke circle Anda