Perjalanan Yono, Bujel, dan Gino ke Lereng Merapi
Pada akhir 1980-an di sebuah desa kecil di Klaten, Jawa Tengah, tiga anak SMA bernama Yono, Bujel, dan Gino gemar mendengarkan sandiwara radio Saur Sepuh. Cerita tentang pendekar sakti seperti Brama Kumbara dan Mantili begitu memikat mereka, hingga mereka bermimpi menjadi pendekar sejati yang menguasai ilmu kasatmata maupun batin.
Suatu malam, di sebuah warung kopi, mereka mulai merencanakan sesuatu yang besar.
“Kita harus cari guru spiritual yang bisa mengajari ilmu sejati,” kata Yono sambil mengetuk meja kayu dengan semangat.
“Bener, Pri. Tapi guru kayak gitu di mana nyarinya?” tanya Gino sambil menyeruput kopinya.
“Kudengar di lereng Merapi, ada seorang guru sakti bernama Mbah Martowiyono. Dia bisa ngasih ilmu sejati kalau kita benar-benar serius belajar,” jawab Yono penuh keyakinan.
Bujel, yang sedari tadi diam sambil mengunyah tempe mendoan, menyela, “Kalau beneran ketemu, terus kita diapain, Pri? Jangan sampai cuma diomelin terus disuruh pulang.”
“Kita buktikan keberanian kita dulu, Jel. Kalau kita memang niat, guru sejati pasti akan menerima kita,” tegas Yono.
Mereka bertiga pun sepakat memulai perjalanan pada malam minggu, dengan hanya membawa bekal seadanya.
Menyusuri Lereng Merapi
Pada malam yang gelap tanpa bulan, ketiganya menyusuri lereng Merapi. Suasana hutan mencekam, hanya suara angin dan serangga malam yang terdengar.
“Pri, aku nggak yakin jalan ini bener. Jangan-jangan kita malah nyasar,” kata Bujel sambil memeluk jaketnya erat-erat.
“Tenang, Jel. Kalau kita ragu, kita nggak bakal sampai,” balas Yono sambil menatap jalan setapak yang semakin suram di depan mereka.
Di tengah perjalanan, hal-hal aneh mulai terjadi. Dari kejauhan terdengar suara kentongan bertalu-talu, padahal mereka tahu tidak ada manusia di hutan itu.
“Yono, itu apa?” bisik Gino sambil menunjuk ke arah pohon besar. Di bawahnya tampak sosok bayangan tinggi berdiri diam.
Yono menarik napas panjang. “Ingat apa yang dibilang orang tua di desa. Kalau ketemu yang aneh, jangan lari. Kita jalan terus, pura-pura nggak lihat.”
Mereka terus berjalan, meskipun hati masing-masing penuh ketakutan. Setelah beberapa jam, menjelang subuh, mereka akhirnya tiba di sebuah dusun terpencil bernama Dusun Bayan.
Pertemuan dengan Mbah Martowiyono
Di tengah dusun, mereka melihat sebuah rumah joglo tua yang dikelilingi pohon-pohon rindang. Seorang lelaki tua dengan janggut panjang putih duduk di pendopo, matanya memejam seperti sedang meditasi.
“Itu pasti Mbah Martowiyono,” bisik Yono.
Ketiganya melangkah maju dengan hati-hati. Setelah mendekat, Yono memberi salam.
“Mbah, maaf mengganggu. Kami datang dari Klaten. Kami ingin belajar ilmu sejati dari panjenengan.”
Mbah Martowiyono membuka matanya perlahan dan menatap tajam ke arah mereka.
“Kalian tahu apa yang kalian minta?” tanyanya dengan suara berat.
“Kami ingin belajar ilmu roso, Mbah. Kami ingin menjadi manusia yang kuat lahir dan batin,” jawab Yono dengan penuh keberanian.
“Ilmu roso tidak bisa dipelajari oleh sembarang orang. Jika niatmu tidak tulus, ilmu ini bisa membawa kehancuran,” kata Mbah Martowiyono.
“Kami siap menjalani apapun, Mbah. Kami ikhlas untuk belajar,” kata Gino mantap.
Mbah Martowiyono mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi sebelum memulai, kalian harus menjalani ritual penyucian.”
Ritual Penyucian Tengah Malam
Tepat pukul 12 malam, mereka dimandikan dengan air kembang tujuh rupa di sebuah pancuran tua di belakang rumah joglo. Mbah Martowiyono sendiri yang memimpin ritual itu.
“Air ini bukan sekadar membersihkan tubuh kalian, tapi juga niat dan hati kalian,” kata Mbah Martowiyono sambil menyiramkan air kembang ke kepala Yono.
Bujel menggigil kedinginan. “Mbah, ini dingin banget… Apa memang harus pakai air kayak gini?” tanyanya setengah bercanda.
Mbah Martowiyono menatapnya tajam. “Diam, Nak. Kalau tidak ikhlas, lebih baik berhenti sekarang juga.”
Bujel langsung terdiam, sementara Yono dan Gino saling berpandangan tanpa bicara.
Setelah dimandikan, mereka dipanggil ke pendopo untuk menerima wejangan.
“Ilmu sejati bukan untuk pamer kekuatan. Ilmu ini harus digunakan untuk kebaikan. Kalian harus belajar mengendalikan diri, karena kekuatan tanpa pengendalian hanya akan menjadi malapetaka,” ujar Mbah Martowiyono.
Tiga Hari di Dusun Bayan
Selama tiga hari, Yono, Bujel, dan Gino belajar berbagai ilmu dari Mbah Martowiyono. Mereka diajarkan meditasi untuk mengolah energi roso, jurus-jurus bela diri, dan cara membaca tanda-tanda alam.
“Ngudi Utomo itu tentang keseimbangan. Kekuatan kasar harus dibarengi dengan kelembutan hati. Kalau kalian hanya ingin jadi kuat, maka kalian tidak akan pernah memahami ilmu ini,” kata Mbah Martowiyono suatu malam.
Yono yang biasanya keras kepala mulai berubah. Ia lebih banyak diam dan merenung. Bujel yang suka bercanda kini menjadi lebih serius, sementara Gino merasa lebih percaya diri dari sebelumnya.
Pada hari ketiga, sebelum mereka pulang, Mbah Martowiyono memberi masing-masing dari mereka sebuah pusaka kecil berupa batu hitam yang digantungkan di tali sederhana.
“Pusaka ini hanya simbol. Kekuatan sejati ada di dalam diri kalian. Ingat, gunakan ilmu ini untuk membantu orang lain, bukan untuk menyakiti,” pesan Mbah Martowiyono.
Pulang ke Klaten
Ketika mereka kembali ke desa, perubahan pada ketiganya begitu jelas terlihat. Yono yang dulu impulsif kini menjadi lebih bijaksana. Bujel tidak lagi bersikap sembrono, dan Gino yang sering ragu kini tampil percaya diri.
Cerita tentang perjalanan mereka ke lereng Merapi dan pertemuan dengan Mbah Martowiyono segera menyebar di desa. Banyak orang terinspirasi, tetapi tak ada yang benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi di Dusun Bayan.
Bagi Yono, Bujel, dan Gino, perjalanan itu adalah awal dari hidup yang baru—hidup sebagai manusia yang memahami makna sejati dari kekuatan dan keseimbangan. Hingga kini, cerita mereka tetap hidup dalam ingatan warga, menjadi legenda tentang perjalanan mencari ilmu di lereng Merapi.