Di sebuah sekolah menengah yang terletak di pinggiran kota, terdapat seorang guru baru bernama Citra. Citra tidak hanya dikenal karena kemampuannya dalam mengajar, tetapi juga karena kecantikannya yang memikat. Dengan rambut panjang yang berkilau dan senyuman yang menghiasi wajahnya, Citra dengan cepat berhasil mencuri perhatian para siswa, terutama siswa laki-laki. Mereka terpesona, seolah terperangkap dalam daya tarik seorang bintang film.
Pagi itu, saat bel berbunyi, kelas 2 SMA bergegas memasuki ruang kelas. Semua mata langsung tertuju pada Citra yang sudah menunggu di depan, mengenakan kebaya modern yang membuatnya terlihat anggun. Begitu dia mulai mengajar, banyak dari siswa laki-laki yang terpaku, mulut menganga, dan pikiran melayang jauh. Bahkan Andi, pemuda yang terkenal pendiam dan serius, tidak bisa menahan senyum bodohnya.
Namun, di sudut ruang kelas, duduklah Sari, seorang murid perempuan yang menyimpan rasa cemburu yang mendalam. Sari bukan hanya siswa yang pintar, tetapi juga memiliki sifat pemberani dan mandiri. Dia sudah lama menyukai Andi, dan melihatnya terpesona oleh guru mereka hanya membuat hatinya semakin sakit. Mengapa Andi tidak pernah melihat betapa luar biasanya dirinya? Mengapa perhatian Andi tercurah hanya untuk Citra?
“Eh, Sari. Kenapa kamu terlihat cemberut?” tanya Rina, sahabat dekat Sari, sambil meletakkan tasnya di meja.
“Itu karena dia. Gak ngerti apa dia? Kenapa semua orang, termasuk Andi, terpesona padanya?” Sari mengalihkan pandangannya ke jendela, mencoba tidak memperlihatkan ketidaknyamanannya.
Rina mengangkat bahu. “Mungkin karena dia cantik dan baik. Kita juga harus mengakui itu.”
“Tapi, dia baru di sini. Saya sudah mengenal Andi lebih lama dari dia! Ini tidak adil!” Sari meluapkan kekesalannya sambil memukul meja.
Di tempat lain di dalam kelas, Citra mulai mengajak siswa untuk berinteraksi dengan cara yang tidak biasa. Dia tidak hanya sekadar mengajar teori, tetapi mengajak siswa untuk berdiskusi dan bermain peran. Kelas pun dipenuhi tawa dan tawaran-tawaran yang penuh semangat. Citra berhasil menciptakan suasana yang santai, dan tawanya membuat semua orang merasa nyaman.
Sari merasa semakin kesal melihat Andi yang kini semakin aktif berpartisipasi dalam pelajaran. Dia seringkali melirik Citra dengan rasa kagum yang jelas terlihat di wajahnya. “Seandainya bisa membuat Andi melihatku seperti itu…” desahnya dalam hati.
Suatu hari, saat pelajaran berlangsung, Citra memberikan tugas untuk membuat kelompok. “Bagi kalian menjadi kelompok kecil,” ujarnya sambil tersenyum. “Tugas kita adalah membuat presentasi mengenai budaya Indonesia. Pastikan kalian seru dan kreatif!”
Sari merasa terjebak. Dia harus bekerja sama dengan Andi, tetapi di saat yang sama dia merasa tidak ingin kehilangan posisinya. Mereka pun duduk bersebelahan dan mulai merencanakan presentasi mereka.
“Jadi, mau kita ambil tema apa?” tanya Andi, tanpa menyadari betapa hatinya membara melihat Sari, meskipun pikiran awalnya teralihkan oleh Citra.
“Bagaimana kalau kita bahas tentang kebudayaan desa kita?” jawab Sari dengan bersemangat.
Imajinasi Sari lalu terbangun ketika berbicara tentang desa mereka. Dia mulai menjelaskan berbagai tradisi dan makanan khas dengan semangat yang menular. Andi terpesona melihat antusiasme Sari, sesuatu yang sebelumnya sering kali terabaikan olehnya.
“Sari! Kamu tahu banyak tentang ini!” ujar Andi, matanya berbinar. “Saya tidak tahu kamu pergi ke festival itu.”
Sari terkejut, merasa senang ketika dia menyadari Andi sebenarnya memperhatikannya. “Ya, saya pergi bersama keluargaku. Rasanya sangat seru!”
Namun, perasaan itu tidak bertahan lama, karena Citra datang menghampiri mereka. “Wow, sepertinya kalian berdua mendapatkan ide yang bagus. Teruskan ya, saya tidak sabar untuk melihatnya!” Citra berbelok dan pergi, meninggalkan jejak gelak tawanya yang terdengar di seluruh kelas.
Sari merasakan kembali rasa cemburunya. “Dia terus-menerus muncul dan merusak momen-momen kecil kita,” keluhnya.
Tapi saat presentasi tiba, Sari dan Andi bekerja sama dengan luar biasa. Sari berbicara penuh semangat mengenai budaya, sedangkan Andi menambahkan pengetahuan yang didapatkannya. Keduanya menyatukan kekuatan dan saling mendukung, sehingga presentasi berjalan dengan lancar dan berhasil memukau seluruh kelas. Melihat terkagumnya teman-teman mereka, Sari merasakan semangatnya tumbuh. Mungkin, perhatian Andi tidak sepenuhnya tertuju pada Citra.
Setelah presentasi, Andi berbalik kepada Sari. “Kamu hebat, Sari! Saya tidak tahu kamu bisa sebaik itu. Kita harus sering berkolaborasi!”
Sari tersenyum lebar, hatinya bergetar. “Terima kasih, Andi. Kamu juga hebat!”
Dari hari itu, perlahan Sari mulai percaya diri, tidak hanya sebagai diri sendiri tetapi juga sebagai rekan Andi. Mungkin, pesona Citra tidak bisa dihindari, tetapi Sari kini menyadari bahwa keunikan dan ketulusan hatinya juga dapat bersinar terang. Dan terkadang, perhatian seseorang memang bisa jauh lebih berharga daripada kecantikan semata.