Di sebuah lapangan berumput hijau di pinggiran kota, Tim Sepak Bola Tunas Muda sedang menjalani sesi latihan sebelum pertandingan besar mereka. Suasana di lapangan cukup tegang, bukan karena latihan, tetapi karena perdebatan mengenai satu hal—nomor punggung 13.
Pelatih, Pak Damar, memanggil seluruh pemain untuk berkumpul. “Anak-anak, kita harus membahas soal pembagian nomor punggung. Kita memiliki nomor 1 hingga 20, tetapi tidak ada yang mau mengambil nomor 13. Apa yang terjadi?”
Riko, kapten tim yang dikenal tegas, menggelengkan kepalanya. “Pak, semua orang tahu bahwa nomor 13 itu sial. Tidak ada yang mau membawanya.”
“Sial? Kenapa bisa sial?” tanya Dito, pemain baru yang tampak bingung.
Mira, seorang pemain wanita yang juga jago dribbling, menjelaskan, “Banyak mitos tentang nomor itu. Di banyak budaya, nomor 13 selalu dikaitkan dengan hal-hal buruk. Misalnya, ada yang bilang, tim yang memakai nomor 13 selalu kalah.”
“Ya, dan lihat saja statistiknya!” seru Anton, penyerang utama. “Tim-tim lain juga jarang yang menggunakan nomor itu. Buktinya, nomor itu ditinggalkan!”
Pak Damar menghela napas. “Tapi kita harus menghargai setiap nomor yang ada. Bagaimana kalau kita melakukan pertandingan pemilihan? Siapa yang berani memakai nomor 13 dalam latihan nanti?”
Semua pemain diam, tidak ada yang bersuara. Hanya ada suara angin yang berdesir.
Keesokan harinya, saat latihan berlangsung, pengumuman itu masih menjadi topik perbincangan. Tim sepakat untuk saling mendukung, tetapi masih belum ada yang berani mengambil nomor 13. Hingga suatu saat, seorang pemain yang jarang berbicara, Budi, angkat bicara.
“Kalau tidak ada yang mau, aku akan ambil nomor 13,” ucapnya dengan nada mantap.
Semua mata terbelalak ke arahnya. “Budi? Kamu yakin?” tanya Riko.
“Ya, kenapa tidak? Selama ini saya merasa tertekan karena tidak punya kesempatan untuk membuktikan diri. Banyak hal dalam hidup ini yang dianggap sial, tapi tidak ada bukti nyata. Kenapa kita harus menjadikan nomor 13 sebagai kambing hitam?”
Suasana langsung berubah. Semangat di antara pemain mulai bangkit. “Hebat, Budi! Kami akan mendukungmu!” teriak Mira dengan bersemangat.
Pak Damar tersenyum. “Baiklah, Budi. Kesempatanmu sudah datang. Ayo gunakan nomor punggung itu dengan bangga. Ini bukan hanya tentang nomor, tetapi tentang kepercayaan diri dan keberanian.”
Kisah ini akan dilanjutkan dengan berbagai tantangan yang dihadapi tim ke depannya.