Setelah berhasil mengalahkan Bima, si Penyu Pemburu, Arga melanjutkan perjalanan menuju Gua Kegelapan, tempat di mana Serigala Pasir, musuh berikutnya menantinya. Dengan pedang pusaka yang telah diberikan Bima, ia merasa lebih percaya diri akan kemampuannya. Namun, di dalam hatinya, ada rasa khawatir yang menggelayut tentang apa yang akan dihadapi di gua misterius itu.
Arga berjalan menyusuri pantai berpasir, mengikuti petunjuk yang diberikan Bima. Semakin lama, suasana menjadi semakin kelam, dan langit tampak mendung menyelimuti pulau. Bebatuan tajam dan semak-semak lebat menjadi halangan bagi langkahnya. Ia akhirnya sampai di titik di mana deburan ombak tidak terdengar lagi; kepingan angin menggigit terasa di wajahnya.
Begitu tiba di mulut gua, Arga merasakan hawa dingin yang menerpa. Gua Kegelapan itu begitu dalam dan hanya diterangi oleh cahaya samar dari rembulan luar. “Serigala Pasir, aku datang!” teriaknya sambil berdiri tegak di pintu gua. Suaranya memantul, tergelincir dalam kegelapan.
Tiba-tiba, muncullah sosok yang menjulang tinggi — Serigala Pasir, sosok berbulu kelabu dengan mata bersinar merah. “Siapa yang berani mengganggu tempat ini?” Suaranya menggeram, terdengar menakutkan.
“Aku Arga, seorang pendekar silat yang datang untuk menantangmu!” Jawab Arga, suara bergetar meskipun ia berusaha untuk terdengar berani.
Serigala Pasir tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-gigi tajamnya. “Hanya sedikit yang pernah berani menghadapi aku. Kau harus siap menanggung konsekuensi jika kau kalah!”
Pertarungan pun dimulai. Serigala Pasir melompat maju, dengan kecepatannya yang sangat mengagumkan, ia menyergap Arga dengan serangan cepat menggunakan cakar-cakarnya. Arga menghindar dengan cepat, belajar dari pengalamannya sebelumnya. Serangan pertama melewati wajahnya dan mengenai dinding gua, membuat goyangan hebat di sekitar mereka.
“Hati-hati, Arga!” Arga mengingat nasihat yang diberikan kakeknya: “Selalu perhatikan gerakan lawan.”
Menyadari taktik serangan yang mendadak, Arga mempersiapkan langkah selanjutnya. Dengan penuh konsentrasi, dia kembali menggunakan teknik yang telah diajarkan oleh kakeknya — “Gerakan Angin Silat”. Ia mulai bergerak dengan lincah, menyerang dari sisi yang tidak terduga.
Namun, Serigala Pasir cepat beradaptasi. Ia mengelak dan membalas serangan dengan cakar yang menggores permukaan tanah. Arga merasakannya; pertarungan ini bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga soal kecepatan dan kecerdikan.
Menggali habis-habisan kekuatan, Arga terus bergerak, menari di antara serangan-serangan Serigala Pasir. Dia memahami satu hal: ia harus menjadikan kelincahannya sebagai keuntungan. Serigala Pasir berusaha mendekatinya dan Arga merespons dengan serangan mendadak — satu tendangan keras yang memukul dada Serigala Pasir, membuatnya terjengkang ke belakang.
“Dari mana datangnya kekuatanmu, pemuda?” Serigala Pasir menggeram, terlihat semakin marah.
“Aku berjuang bukan hanya untukku, tetapi untuk melindungi lautan dan desaku!” jawab Arga dengan semangat.
Pertarungan semakin sengit, dan Arga mulai merasa fatigued. Namun, dia menangkap pandangan Serigala Pasir yang berkilau, menunjukkan bahwa lawannya pun mulai kehabisan energi. Arga menyadari bahwa ini adalah momen penting.
“Aku akan menggunakan teknik terakhirku!” teriak Arga. Ia fokus, menyiapkan seluruh energinya untuk melakukan “Serangan Naga Menyala” — teknik silat yang diturunkan langsung dari kakeknya. Tubuhnya memancarkan aura yang kuat, dibarengi sebuah serangan balasan cepat yang mengarah langsung ke jantung Serigala Pasir.
Dengan kecepatan tinggi, Arga meluncur, menggunakan semua kemampuannya. Serigala Pasir mencoba melawan dengan cakar, tetapi hanya bisa melihat Arga mendekatinya dalam gerakan silat yang megah.
“Jangan anggap remeh kekuatan persatuan kita, Serigala!” seru Arga sebelum akhirnya melakukan serangan terakhirnya.
Dalam sekejap, serangan itu mengenai Serigala Pasir secara akurat. Gua bergetar seolah-olah ikut merasakan dampak dari pertarungan. Serigala Pasir tersentak, terjatuh, dan menatap Arga dengan kekaguman.
“Aku… mengakui kekalahanku. Kau memiliki bakat dan semangat yang luar biasa, Arga.” Suara Serigala Pasir lembut, meskipun isyaratnya masih terengah-engah.
“Jika kau bersedia, aku berjanji untuk menjaga lautan dan berkolaborasi denganmu,” balas Arga dengan tegas. “Janganlah kita bertarung jika kita bisa menjadi sekutu.”
Serigala Pasir, merenung sejenak, akhirnya mengangguk. “Baiklah, aku akan membantu menjaga keseimbangan laut. Ini pedang pusaka yang telah aku ambil. Ambil dan gunakan untuk melindungi yang lemah.”
Arga menerima pedang pusaka dengan rasa syukur dan menghormati Serigala Pasir. Kini, dia memiliki dua senjata pamungkas dan seorang sekutu yang dapat diandalkan.
Dengan kekuatan baru, Arga melangkah keluar dari gua, memandang laut yang penuh harapan di depannya. Perjalanan berikutnya adalah mencari Ratu Ombak, yang menguasai lautan biru di selatan. Arga tahu, tantangan yang lebih besar menantinya, namun kini ia tidak sendirian lagi.