HUMOR REMAJA: KEMBALIAN 25 RUPIAH

Waktu masih kuliah, hidup saya bisa dibilang seperti sinetron low budget: banyak drama, sedikit solusi, dan seringnya penuh kejutan tak terduga. Salah satunya terjadi di suatu sore yang mendung, saat perut saya keroncongan tapi dompet cuma berisi satu-satunya koin 50 rupiah. Iya, cuma lima puluh rupiah, yang bahkan waktu itu udah nyaris tak berlaku di warung.

Saya duduk di depan kos, menatap koin itu seperti menatap sisa harapan hidup. Kiriman dari orang tua belum juga datang, dan saya sudah terlalu malu untuk ngutang lagi ke warung depan—Bu Warni mulai menagih dengan tatapan tajam yang lebih menyakitkan dari tusukan garpu.

Tiba-tiba, dari ujung gang, terdengar suara nyanyian. Bukan nyanyian biasa. Ini… tembang Jawa. Yang dinyanyikan dengan nada meleset dari not asli. Suaranya cempreng, patah-patah, dengan iringan tepuk tangan yang ritmenya ambigu. Saya menoleh dan mendapati seorang kakek-kakek sedang mengamen, melenggang santai sambil menyanyikan lagu “Ilir-Ilir” versi remix rawan migrain.

Jujur, saya gamang. Antara ingin kabur dan ingin kasih. Tapi hati saya luluh melihat semangat si kakek. Walaupun suara beliau lebih cocok buat alarm kebakaran, tapi niatnya tulus. Dan… saya tak punya uang selain si koin keramat 50 rupiah.

Akhirnya saya berdiri, maju perlahan, dan dengan ekspresi antara ikhlas dan pasrah, saya sodorkan koin itu.

“Ini, Kek… cuma ini yang saya punya,” kata saya. “Tapi kembaliannya 25 ya.”

Kakek itu terdiam sejenak. Menatap koin, lalu menatap saya. Lalu koin lagi. Seolah sedang menimbang, ini uang atau prank.

Akhirnya beliau menjawab dengan logat Jawa halus, “Waduh, Mas… kembalian 25-nya nggak ada… uang sekecil ini aja udah kayak fosil.”

Saya tersenyum kecut. Tapi sebelum saya sempat bilang, “ya udah, buat panjenengan saja,” si kakek tiba-tiba menambahkan, “Tapi gini aja, Mas… saya tambahin satu lagu ya. Biar impas.”

Impas? Tambah satu lagu? Dalam hati saya menjerit. Yang tadi aja udah bikin kepala cenat-cenut, ini mau nambah satu lagi?

Dan benar saja. Lagu kedua pun dilantunkan. Kali ini “Padang Bulan”, dibawakan dengan gaya khas beliau: sumbang tapi penuh semangat. Saya berdiri kaku di situ, senyum beku, hati nyesek, sambil nahan lapar dan nahan malu kalau ada anak kos lain yang lewat.

Setelah lagu selesai, kakek itu pamit sambil angguk-angguk puas, seperti habis konser tunggal.

Saya pun kembali duduk. Kali ini tanpa koin, tanpa harapan, tapi dengan pengalaman baru.

Dalam hati saya hanya bisa berkata,
“Terima kasih, Kek. Terima kasih untuk… konsernya. Dan pelajaran hidup tentang ikhlas yang sangat… bernada minor.”