Di pasar Ndeso, Bedul dan gengnya semakin kreatif dalam urusan pungutan liar. Hari itu mereka resmi mengesahkan PPN: Pajak Preman Ndeso. Semua pedagang kena pajak, nggak ada yang boleh lolos!
Bedul berdiri di tengah pasar, tangannya melambai-lambai seperti pejabat yang baru dapat proyek. “Mulai hari ini, semua yang cari duit di pasar kena pajak! Pajak keamanan, pajak kebersihan, pajak kesejahteraan preman!”
Pak Karyo, pedagang tempe, maju dengan wajah kusut. “Dul, aku sudah bayar pajak keamanan, kok ditarik lagi?”
Bedul mengangkat alis. “Itu pajak keamanan barang! Hari ini pajak keamanan pembeli! Beda urusan!”
Bu Jum, penjual sayur, ikut nyeletuk, “Lha terus pajak kebersihan buat apa?”
“Kalau pasar kotor, yang disalahin siapa? Preman, kan? Nah, kita pungut pajak buat mencegah kita dituduh males kerja!” jawab Bedul mantap.
Tiba-tiba Marjuki, tangan kanan Bedul, berbisik, “Dul, ada yang belum bayar pajak, tuh.”
“Siapa?”
“Itu, Pak Bejo, tukang becak!”
Pak Bejo, yang lagi duduk santai di becaknya, langsung melotot. “Lha aku kan nggak dagang!”
Bedul nyengir sambil menunjuk kepala Pak Bejo yang gundul mengkilap. “Becakmu jalan-jalan di pasar, kan? Kena PPN: Pajak Perbecakan Ndul!”
Pak Bejo elus-elus kepala. “Lha terus gundulku salah apa?”
Marjuki nimbrung, “Itu bahaya. Gundul bikin silau, bisa ganggu lalu lintas. Kena PPN juga – Pajak Persilauan Ndulmu!”
Pak Bejo nggeblak hampir pingsan mikirin ulah Beduk cs ada saja aturanya. Pasar geger pagi itu. Sementara itu, Bedul dan gengnya kabur ke warung pecel, merayakan suksesnya penarikan pajak.