Terminal Tirtonadi, pagi hari.
Seorang kakek dengan blangkon miring dan sarung dililit rapi duduk di bangku terminal sambil memegang tas anyaman. Namanya Mbah Marto. Ia ingin pergi ke Jakarta menjenguk cucunya yang baru wisuda. Masalahnya satu: Mbah Marto hanya bisa bahasa Jawa halus.
Datanglah seorang calo dengan senyum selebar pintu bus:
“Monggo, Mbah… bis niki angsal maem ten jero!”
Mbah Marto langsung sumringah.
“Angsal maem?” batin Mbah Marto.
“Wah… apik tenan! Tekok-tekok bis niki paring daharan. Wong tuwa koyok aku kok dirawuhi… Alhamdulillah…”
Tanpa pikir panjang, beliau naik bus itu dengan semangat. Duduk manis di kursi belakang dekat jendela. Hatinya penuh harapan akan disuguhi makanan enak, mungkin nasi kotak dengan ayam goreng dan kerupuk.
Pokoknya… angsal maem toh?
Satu jam berlalu…
Bus melaju mulus ke arah barat. Penumpang mulai tertidur. Mbah Marto duduk tegak, sesekali melirik ke lorong bus. Tidak ada pramugari. Tidak ada suara “silakan makan”. Bahkan… tidak ada bau nasi!
“Hmmm… mungkin nanti, sesuk wae.”
Dua jam berlalu.
Mbah Marto mulai melirik ke jam tangan pinjaman. Perutnya berbunyi.
Tiga jam.
Ngantuk, kecewa, dan bingung, akhirnya ia pun tertidur dengan mulut menganga dan mimpi makan pecel lele.
Saat terbangun, bus sudah sampai Cikampek.
Mbah Marto bangun dengan wajah bingung dan langsung menghampiri kondektur yang sedang duduk santai:
“Mas… lha kok aku durung diwenehi panganan?”
Kondektur melongo, “Lhoh? Sinten sing sanjang diparingi daharan, Mbah?”
Mbah Marto menjawab mantap:
“Mau… sing dodol tiket kae. Jare, angsal maem.”
Kondektur garuk kepala, tahan tawa, lalu menjelaskan dengan hati-hati:
“Mbah… niku maksudipun boten dilarang menawi maem teng dalem bis. Dudu diparingi dhaharan, Mbah…”
Seisi bus langsung ketawa tertahan.
“Lhaaa… ngoten toh? Tak kira oleh jatah maem!”
“Duh, basa Jawa ki rumit ya, Mas…” gumam Mbah Marto sambil nyengir.
Penutup:
Sejak hari itu, Mbah Marto berjanji:
Sebelum naik bis, tanya dulu: “Oleh maem iku artine piye?”
Karena dalam bahasa Jawa, angsal memang bisa berarti “diizinkan”, tapi di telinga Mbah Marto, itu terdengar seperti “dikasih gratis”!
Dan begitulah, satu perjalanan yang dimulai dengan harapan makan gratis, berakhir dengan pelajaran linguistik tingkat tinggi… dalam perut kosong.