ESAI “NARASI MINORITAS”

Narasi Minoritas: Suara yang Sering Diabaikan dalam Sastra Indonesia

Dalam sejarah panjang sastra Indonesia, tidak semua suara mendapatkan ruang yang layak. Beberapa ditinggikan, dijadikan narasi utama, dikutip dalam pelajaran sekolah. Tapi sebagian lainnya—yang lebih pelan, yang lebih terluka—justru tenggelam di sela-sela buku, atau bahkan tak sempat dituliskan. Suara-suara itu adalah milik mereka yang disebut minoritas: kelompok-kelompok yang berbeda dari mayoritas dominan, baik secara etnis, agama, orientasi seksual, maupun gender.

Sastra adalah cermin masyarakat, katanya. Namun, cermin apa yang kita gunakan ketika cerita-cerita tentang kelompok minoritas lebih sering ditulis oleh mereka yang tidak mengalami sendiri kenyataan itu? Atau lebih buruk lagi: ketika mereka hanya tampil sebagai latar belakang, pelengkap, atau malah objek stereotip yang tidak diberi kedalaman?

Karya-karya seperti Entrok dan Maryam karya Okky Madasari mulai memecah sunyi itu. Dalam Maryam, kita membaca pengalaman pahit seorang perempuan Ahmadiyah yang terusir dari rumah dan kampungnya sendiri hanya karena keyakinannya dianggap menyimpang. Esai ini tidak hendak membahas aspek teologis dari Ahmadiyah, tetapi melihat bagaimana sastra menjadi satu-satunya tempat di mana suara Maryam bisa didengar utuh—tidak dipotong oleh framing media, tidak dikaburkan oleh narasi politik.

Ada juga Amba karya Laksmi Pamuntjak yang meskipun lebih dikenal karena kisah cinta dan tragedi 1965, di dalamnya terdapat jejak bagaimana ideologi dan latar belakang politik bisa membuat seseorang menjadi minoritas di negerinya sendiri. Mereka yang dituduh kiri, tanpa pembelaan, tanpa proses hukum, menjadi hantu dalam narasi besar bangsa. Sastra menjadi tempat mereka hidup kembali—bukan untuk membela, tapi untuk dimengerti.

Narasi minoritas juga muncul dalam karya-karya penulis Papua seperti Benny Mamoto atau Dorothea Rosa Herliany yang pernah menulis puisi tentang kekerasan terhadap perempuan Papua. Tapi lagi-lagi, kita harus bertanya: seberapa sering karya-karya ini sampai ke tangan pembaca awam? Seberapa banyak yang tahu bahwa ada penderitaan yang tak pernah tersampaikan karena media lebih sibuk membingkai Papua dalam konflik daripada mendengar sajak yang lahir dari tanahnya?

Sastra yang adil adalah sastra yang memberi ruang bagi semua. Bukan hanya untuk mereka yang punya akses, pendidikan, atau kuasa bahasa. Tapi juga untuk mereka yang selama ini hanya menjadi objek wacana. Ketika seorang transgender menulis puisi tentang tubuhnya yang ditolak dunia, itu bukan sekadar seni, tapi bentuk keberanian. Ketika penyair dari minoritas agama menuliskan keresahannya karena tak bisa merayakan keyakinannya dengan tenang, itu bukan keluhan, tapi testimoni tentang bangsa yang masih harus belajar mendengarkan.

Sayangnya, industri sastra kita belum sepenuhnya ramah terhadap mereka. Banyak naskah yang tidak lolos kurasi karena dianggap terlalu politis, terlalu sensitif, atau terlalu “tidak marketable.” Maka tak heran jika banyak suara minoritas hanya bisa hadir dalam media alternatif, zine kecil, atau blog pribadi. Mereka menulis karena perlu. Karena kalau tidak, mereka akan lenyap.

Namun, kehadiran mereka—sekecil apa pun—adalah perlawanan. Mereka sedang menulis sejarah alternatif yang tak tercatat di buku resmi. Mereka sedang menciptakan peta yang lebih jujur tentang Indonesia, dengan segala keberagamannya yang tidak selalu rukun. Dan di sinilah sastra memainkan peran penting: bukan untuk menengahi, tapi untuk memberi tempat. Untuk mencatat bahwa manusia bukan hanya mereka yang diterima, tapi juga mereka yang ditolak.

Penulis seperti Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu juga telah lama mengangkat isu gender dan seksualitas dengan cara yang frontal dan kadang menyakitkan. Karya mereka membuka ruang bagi perempuan dan kelompok queer untuk menyuarakan kegelisahan, meski seringkali dibalas dengan kecaman. Tapi dari sana kita tahu: setiap narasi minoritas yang dituliskan adalah perjuangan. Bukan hanya perjuangan identitas, tapi perjuangan eksistensi.

Yang menarik, banyak dari karya-karya ini tidak meminta belas kasihan. Mereka tidak meminta untuk dikasihani. Mereka hanya ingin didengar, dipahami, dilihat sebagai manusia yang utuh. Karena menjadi minoritas tidak berarti menjadi kurang manusia. Yang kurang adalah ruang untuk menjadi diri sendiri tanpa takut dikucilkan.

Esai ini bukan sekadar ajakan untuk menulis tentang minoritas, tapi ajakan untuk melibatkan mereka dalam proses menulis itu sendiri. Biarkan mereka yang mengalami, yang tahu luka dan diamnya, yang menulis kisahnya. Kita, jika tidak termasuk dalam lingkaran pengalaman itu, hanya bisa mendengar. Dan dalam mendengar, kita belajar: bahwa Indonesia bukan hanya tentang mayoritas, tapi juga tentang mereka yang melawan lupa dengan menulis.

Sastra Indonesia ke depan hanya akan menjadi lebih kaya jika ia mampu membuka pintu-pintunya lebih lebar. Bukan hanya untuk nama-nama besar, bukan hanya untuk cerita yang nyaman. Tapi juga untuk suara-suara yang getir, yang tidak sesuai dengan arus utama, tapi justru di sanalah kebenaran sering tersembunyi.

Karena pada akhirnya, minoritas tidak ingin menjadi mayoritas. Mereka hanya ingin hidup dan dicintai dengan cara yang adil.