Musim semi datang. Bunga-bunga bermekaran, aroma manis menyebar di angin, dan suasana hutan terasa lebih lembut. Hari-hari menjadi hangat, dan banyak hewan terlihat lebih ceria. Tapi Tiksi, si tikus tanah yang biasanya paling ramai, tampak… berbeda.
Ia sering termenung, senyum-senyum sendiri, dan kehilangan fokus saat Lala bercerita atau Riko berceloteh. Bahkan ketika Kumo duduk diam, Tiksi tak berkomentar seperti biasanya.
“Eh, Tiksi… kamu kenapa sih?” tanya Riko penasaran.
Tiksi menggeliat malu-malu. “Aku… aku kayaknya… suka sama seseorang.”
Lala langsung terbelalak. “Siapa?!”
Tiksi menutup wajahnya. “Rahasia…”
Riko tertawa terbahak-bahak. “Wah, Tiksi jatuh cinta!”
Hari-hari setelah itu, Tiksi berusaha keras menunjukkan perasaannya. Ia memetik bunga, membuat kalung dari biji-bijian, dan bahkan berlatih menyanyi dengan suara nyaring (yang membuat burung-burung terbang ketakutan).
Tapi semua usahanya justru membuat dirinya lelah dan bingung. Suatu sore, Tiksi duduk di samping Kumo yang sedang menatap danau. “Kumo, kamu pernah naksir seseorang?”
Kumo mengangkat bahu. “Belum.”
“Kalau suka sama seseorang… harus gimana ya? Aku udah nyoba kasih bunga, nyanyi, bikin puisi… tapi kok malah makin gugup?”
Kumo berpikir sejenak, lalu berkata pelan, “Mungkin… cukup jadi diri sendiri.”
Tiksi menoleh. “Cuma itu?”
Kumo mengangguk. “Kalau orang itu memang cocok, dia suka kamu apa adanya.”
Tiksi terdiam. Ia baru sadar, selama ini ia terlalu sibuk “berusaha keras” menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Ia ingin disukai, tapi lupa bahwa dirinya sendiri sudah cukup.
Beberapa hari kemudian, Tiksi berhenti membuat pertunjukan. Ia kembali jadi Tiksi yang ceria, spontan, dan jujur. Dan tahukah kamu siapa yang diam-diam memperhatikannya sejak awal?
Seekor tupai bernama Tuno, yang pemalu seperti Kumo, tapi selalu tersenyum saat Tiksi tertawa.
Moral Episode 8:
Ketulusan tidak butuh sandiwara. Jadi diri sendiri adalah cara terbaik untuk dicintai dengan sungguh-sungguh.