Hari-hari berlalu sejak insiden Bono hilang. Kumo jadi lebih sering bersama kelompok, meskipun tetap tidak banyak bicara. Ia lebih memilih mendengarkan dan mengamati, tapi kehadirannya kini diakui sebagai bagian penting dalam kebersamaan.
Suatu sore, para hewan kecil sedang berdiskusi soal rencana membuat rumah pohon bersama. Tiksi ingin rumahnya di cabang paling tinggi, Riko mengusulkan bagian untuk gudang makanan, sementara Lala ingin tempat membaca di bawah daun besar.
Mereka seru berdiskusi. Tapi Kumo hanya duduk diam, memperhatikan.
Tiba-tiba Tiksi melontarkan kalimat, “Eh, Kumo kok nggak pernah kasih ide ya? Padahal kita semua udah sibuk mikir.”
Riko tertawa kecil, “Mungkin dia nggak tertarik?”
Lala langsung menoleh tajam. “Bukan gitu, teman-teman. Kumo mungkin butuh waktu. Dia dengar, kok.”
Kumo menunduk. Ia tidak marah, tapi kata-kata itu menusuk sedikit. Ia tidak berbicara bukan karena tak peduli. Ia hanya sedang berpikir—pelan-pelan.
Malam harinya, Kumo menggambar sketsa kecil di tanah dekat rumahnya: rancangan rumah pohon dengan tangga yang mudah dinaiki hewan kecil, tempat berteduh saat hujan, dan pojok sunyi untuk yang ingin menyendiri. Ia tidak mengirimkan ide itu ke siapa-siapa. Ia hanya diam-diam menggambarnya.
Pagi harinya, Tiksi yang lewat melihat gambar itu. “Kumo… ini rumah pohon?”
Kumo mengangguk. “Aku cuma mikir, kalau ada tempat yang nyaman buat semua…”
Riko terdiam, lalu berkata, “Wah… kenapa nggak bilang dari kemarin?”
Kumo menatap mereka dan menjawab jujur, “Aku butuh waktu. Tapi bukan berarti aku nggak peduli.”
Tiksi dan Riko saling pandang. Mereka langsung merasa bersalah. Lala tersenyum dan berkata, “Justru kamu paling mikirin semua. Kita yang terlalu keras suaranya.”
Sejak itu, teman-teman belajar menunggu. Mereka sadar: tidak semua cinta harus ribut. Kadang, perhatian datang dalam bentuk yang sunyi tapi dalam.
Moral Episode 7:
Tidak semua yang diam berarti tidak peduli. Ada yang memilih mencintai dalam diam, berpikir dalam hening, dan memberi tanpa banyak kata.