Episode 5: Rahasia Riko si Burung Nuri

Hari-hari berlalu sejak insiden batu besar itu. Luka Kumo mulai sembuh, dan kepercayaannya tumbuh perlahan. Ia sekarang lebih sering ikut duduk di lingkaran. Masih belum banyak bicara, tapi sudah mulai tersenyum dan mengangguk saat mendengarkan cerita.

Suatu pagi, saat yang lain masih tidur, Riko si burung nuri mendekati Kumo yang sedang duduk sendiri di tepi danau. “Boleh aku duduk di sini?” tanyanya.

Kumo mengangguk.

Mereka duduk dalam diam cukup lama, sampai akhirnya Riko berkata, “Kumo, kamu tahu nggak, aku juga dulu pemalu.”

Kumo menoleh cepat. “Kamu…? Tapi kamu selalu ramai, dan bisa ngomong dengan semua orang.”

Riko tersenyum kecil. “Itu sekarang. Tapi dulu… aku takut bicara. Suaraku lucu, katanya. Aku sering meniru suara binatang lain, dan banyak yang mengejek. Jadi aku lebih sering diam, sampai suatu hari aku sadar, suaraku unik. Dan unik bukan berarti buruk.”

Kumo menunduk, memikirkan kata-kata itu.

“Aku mulai belajar menerima suaraku sendiri. Aku menirukan suara-suara bukan buat lucu-lucuan, tapi karena aku suka suara. Lalu Lala bilang, ‘Riko, suaramu bikin suasana jadi hidup.’ Dari situ aku mulai berani.”

Kumo menatap air dan bertanya, “Kamu… nggak takut lagi ditertawakan?”

“Masih. Tapi sekarang aku tahu: suara ini bagian dari diriku. Kalau aku menahannya, aku menyakiti diriku sendiri.”

Riko menoleh ke Kumo. “Kamu juga, Kum. Kamu mungkin nggak suka ramai, atau cepat-cepat. Tapi kamu punya cara sendiri buat lihat dunia. Dan itu juga berharga.”

Kumo terdiam lama. Tapi di dadanya, ada sesuatu yang hangat mengalir. Riko, yang begitu ceria, ternyata punya luka juga. Dan ia bisa bangkit.

Hari itu, mereka pulang bersama. Tidak banyak kata, tapi Kumo merasa lebih ringan. Ia mulai belajar bahwa setiap orang punya cerita. Dan kadang, keberanian itu muncul saat kita tahu kita tidak sendiri.


Moral Episode 5:
Semua orang punya sisi pemalu. Kita tidak sendirian. Penerimaan terhadap diri sendiri adalah awal dari kebebasan.