Episode 4: Batu Besar dan Luka Kecil

Beberapa hari setelah pesta padang rumput, suasana hutan kembali tenang. Kumo mulai membiasakan diri duduk lebih dekat dengan teman-teman, walau masih jarang berbicara. Setiap pagi, ia berjalan ke padang rumput dan ikut duduk bersama, mendengarkan cerita-cerita lucu dari Riko atau melihat Tiksi menggambar bentuk aneh di tanah.

Hari itu, Lala mengajak teman-temannya menjelajah jalur baru di hutan, jalur sempit yang katanya penuh dengan bunga liar dan buah manis. Riko langsung terbang ke atas, Tiksi berlari duluan, dan Kumo, meski ragu, memutuskan ikut di belakang.

Di tengah jalan, Kumo melangkah pelan. Jalanan sempit dan tidak rata. Lala menoleh, “Kumo, kamu nggak apa-apa?”

“Aku… aku coba pelan-pelan,” jawab Kumo lirih.

Namun tiba-tiba—krak!—sebuah batu besar terguling dari atas lereng kecil. Riko yang melihatnya langsung berseru, “Kumo! Hati-hati!”

Terlambat. Batu itu mengenai kaki Kumo, tidak keras, tapi cukup untuk membuatnya terjatuh.

Semua langsung mendekat. Lala memeriksa, Tiksi mencari daun obat, dan Riko menjaga agar tidak ada batu lain yang jatuh.

“Aduh… maaf ya, aku lambat… jadi malah nyusahin,” kata Kumo pelan, merasa bersalah.

Lala menggeleng. “Kamu nggak nyusahin, Kumo. Namanya juga jalan di hutan, semua bisa kena. Riko aja pernah kejatuhan ranting, inget nggak?”

“Dan aku pernah nyemplung lumpur,” tambah Tiksi sambil tertawa.

Kumo melihat wajah mereka. Tak ada yang marah. Tak ada yang kecewa. Justru mereka khawatir, dan… peduli.

Dengan perlahan, mereka membantu Kumo berdiri. Luka di kakinya dibalut dengan daun yang dingin. Hari itu, mereka tidak melanjutkan perjalanan. Mereka duduk bersama, menemani Kumo beristirahat di bawah pohon.

Dan di sana, Kumo belajar sesuatu: menjadi lemah sesekali bukanlah aib. Semua makhluk bisa terluka, dan tidak apa-apa dibantu. Kadang, menerima bantuan juga butuh keberanian.


Moral Episode 4:
Semua makhluk bisa terluka, tapi itu bukan alasan untuk terus bersembunyi. Diterima dalam kelemahan adalah bagian dari bertumbuh.