Episode 3: Pesta di Padang Rumput

Sore itu, padang rumput dihiasi bunga liar dan daun-daun yang disusun seperti karpet. Lala, Riko, Tiksi, dan beberapa hewan kecil lainnya berkumpul dalam lingkaran. Di tengah, ada buah-buahan segar, biji-bijian, dan air madu yang dibawa dari pohon tinggi oleh Riko.

Kumo berdiri di pinggiran, dekat semak kecil, tapi kali ini tak bersembunyi. Ia mengamati dari jauh, kaki depannya gemetar sedikit. Beberapa kali, Lala menoleh dan tersenyum ke arahnya. Ia tidak memanggil atau menarik Kumo mendekat, hanya memberi senyum yang penuh pengertian.

“Dia datang…” bisik Riko. “Pelan-pelan saja ya. Jangan bikin dia takut.”

“Tenang,” sahut Lala. “Hari ini cukup dia duduk di sana. Itu sudah hebat.”

Kumo melihat mereka tertawa, bermain tebak-tebakan, dan saling berbagi makanan. Ada momen saat ia merasa asing, tapi juga hangat. Tak ada yang mengejek, tak ada yang memaksa. Justru suasananya seperti menerima kehadirannya—meski dari jauh.

Tiksi, si tikus tanah, membawa sepiring kecil buah beri dan meletakkannya dekat tempat Kumo duduk.

“Aku taruh di sini ya,” katanya lembut. “Kalau kamu lapar.”

Kumo mengangguk kecil. Belum bisa menjawab, tapi dalam hatinya ada rasa syukur.

Hari semakin gelap. Bintang-bintang mulai muncul. Para hewan menyanyi bersama, menciptakan melodi kecil yang bergema di bawah langit senja.

Kumo tetap di tempatnya. Ia tidak menyanyi. Tidak menari. Tapi ia tidak merasa sendirian. Ia merasa dilihat. Diterima. Dan itu cukup.

Saat pesta usai, Lala menghampirinya. “Terima kasih sudah datang, Kumo.”

Kumo tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, ia menjawab, pelan: “Terima kasih juga…”

Dan Lala hanya tersenyum lebar, lalu melompat kembali. Kumo menatap langit malam dan berpikir, mungkin aku bisa lebih dekat lagi besok.


Moral Episode 3:
Kita bisa hadir tanpa harus menjadi pusat perhatian. Kadang, menjadi bagian dari kebersamaan cukup dimulai dengan keberanian untuk datang.