Keesokan harinya, Kumo bangun lebih awal dari biasanya. Hatinya berdebar, tapi kali ini ada sedikit keberanian yang tumbuh. Ia melangkah pelan menuju padang rumput tempat teman-teman biasanya bermain. Tidak untuk bergabung, hanya untuk lebih dekat.
Ia bersembunyi di balik semak yang lebih tipis dari biasanya. Dari sana, ia bisa melihat jelas Lala si kelinci melompat-lompat riang, Riko terbang melingkar di udara, dan Tiksi berlari zig-zag dengan cekatan. Mereka tertawa, bermain, dan saling berseru.
Tiba-tiba, Lala berhenti. Telinganya yang panjang berdiri tegak.
“Hei, kalian dengar?” katanya. “Kayaknya ada yang mengintip dari balik semak.”
Kumo langsung panik. Ia hendak mundur dan masuk ke cangkangnya, tapi terlalu lambat. Lala sudah melompat mendekat.
Dan di hadapannya, Kumo hanya bisa diam. Menunduk. Ingin menghilang.
Tapi Lala hanya tersenyum. “Hai, Kumo, ya? Aku Lala. Sering lihat kamu dari jauh. Kamu mau ikut main?”
Kumo menggeleng pelan.
“Kenapa?” tanya Lala lembut.
Kumo membuka mulutnya, tapi tak ada suara keluar.
Lala tidak memaksa. Ia hanya duduk di samping Kumo. “Kalau kamu belum siap, nggak apa-apa. Tapi nanti sore, kami mau adain pesta kecil di padang rumput. Kamu bisa datang kalau mau. Duduk saja juga nggak apa-apa.”
Lalu Lala melompat kembali ke teman-temannya, meninggalkan Kumo yang bingung—dan sedikit tersentuh.
Sepanjang hari, Kumo memikirkan undangan itu. Tidak ada yang memaksa. Tidak ada yang mengejek. Lala hanya mengajak… dengan tulus. Dan entah kenapa, itu membuatnya merasa aman.
Menjelang sore, Kumo mendekati padang rumput. Ia tidak masuk ke tengah keramaian, hanya duduk di pinggiran. Tapi kali ini, tidak lagi dari balik semak. Ia mulai belajar bahwa ajakan yang tulus bisa menjadi jembatan kecil yang menghubungkan dua dunia—yang ramai dan yang sunyi.
Moral Episode 2:
Terkadang, langkah pertama dimulai dengan mendengarkan ajakan yang tulus. Tak perlu langsung berani—cukup membuka diri sedikit demi sedikit.