“Mengapa Kita Harus Menulis?“
Di antara derasnya informasi dan riuhnya media sosial, menulis mungkin terasa seperti bisikan kecil yang mudah tenggelam. Namun justru dalam kebisingan itulah, menulis menjadi tindakan yang paling hening sekaligus paling berani. Menulis bukan sekadar menyusun kata, melainkan membangun jembatan antara pikiran dan dunia—antara suara hati dan masa depan.
Pertanyaannya sederhana: mengapa kita harus menulis?
Karena menulis adalah upaya melawan lupa. Dalam tiap kalimat yang kita tulis, tersimpan fragmen sejarah, sepotong pemikiran, secuil perasaan. Ketika seseorang menulis, ia sedang merekam zamannya. Seorang ibu rumah tangga yang mencatat pengalaman mengasuh anak, seorang petani yang menuliskan kekhawatirannya tentang musim, atau seorang remaja yang mencurahkan keresahan cinta dalam puisi—semuanya tengah berkontribusi membangun peradaban, tanpa mereka sadari.
Indonesia bukan bangsa yang miskin cerita, tapi seringkali kita kekurangan penulis yang mau mengabadikan kisah-kisah itu. Banyak peristiwa berlalu tanpa sempat diceritakan. Banyak pemikiran cemerlang hilang karena tidak pernah dituliskan. Padahal menulis adalah cara paling damai untuk menyampaikan gagasan, membantah pendapat, atau menyuarakan keresahan. Dalam tulisan, kita bisa jujur, bisa utuh, bisa bebas dari tekanan dunia nyata.
Menulis juga adalah bentuk perlawanan terhadap kefanaan. Lisan bisa menghilang, memori bisa rapuh, tapi tulisan bertahan. Ia bisa dibaca ulang, dikritisi, bahkan diwariskan lintas generasi. Lihatlah bagaimana surat-surat Kartini menginspirasi gerakan emansipasi perempuan, atau bagaimana puisi Chairil Anwar masih sanggup menggugah pembaca muda hari ini. Semua itu karena mereka memilih menulis. Karena mereka tahu: suara yang tidak dituliskan bisa dengan mudah dilupakan.
Menulis bukan hanya milik para sastrawan. Siapa pun bisa menulis. Tidak perlu menunggu sempurna, karena tulisan yang jujur lebih berarti daripada tulisan yang rapi tapi kosong. Menulis membuat kita berpikir ulang tentang dunia, dan seringkali, tentang diri sendiri. Dalam proses menulis, kita dipaksa untuk merapikan emosi, menyusun ulang kegelisahan, bahkan berdamai dengan luka yang mungkin selama ini kita abaikan.
Bagi banyak orang, menulis adalah terapi. Menulis membuat mereka merasa didengar, meski tidak ada yang membaca. Ada kekuatan dalam melihat kata-kata kita sendiri terhampar di depan mata—seperti sedang berbicara pada bayangan terdalam yang tak pernah sempat keluar.
Lebih dari itu, menulis adalah bentuk kontribusi. Di tengah zaman di mana semua orang sibuk berlomba menunjukkan gambar, suara, dan sensasi, tulisan yang jujur menjadi oase. Kita tidak tahu siapa yang akan tersentuh oleh tulisan kita. Mungkin seseorang yang tak kita kenal akan membaca catatan harian kita dan merasa tak lagi sendiri. Mungkin seseorang yang sedang rapuh akan menemukan harapan dari puisi sederhana yang kita unggah di blog. Itulah kekuatan tulisan: ia bisa menjangkau jauh melampaui kehadiran kita.
Fixen.id hadir bukan hanya sebagai media, tetapi sebagai ruang. Ruang tempat setiap orang bisa menyusun kata tanpa takut dihakimi. Tempat para penulis pemula dan penulis berpengalaman saling menyapa dalam bahasa yang sama: bahasa kejujuran. Kami percaya bahwa dengan mendorong budaya menulis, kita sedang menyalakan obor kecil di tengah gelapnya kebingungan zaman.
Dan kini, kita tidak sendirian. Teknologi hadir bukan untuk menggantikan penulis, tapi untuk mendukung mereka. AI Curator membantu memilihkan karya yang relevan. AI Translator menjembatani bahasa agar karya anak bangsa bisa dibaca dunia. AI Proof Reader memastikan pesan kita sampai dengan presisi. Semua itu bukan untuk membuat manusia kalah oleh mesin, tetapi agar manusia bisa lebih fokus pada esensinya: menyampaikan makna.
Menulis adalah tindakan merawat ingatan, memperkuat empati, dan membangun jembatan antar manusia. Di tengah dunia yang semakin sibuk, menulis mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, melihat ke dalam, dan kemudian bersuara. Sekecil apapun tulisanmu hari ini, bisa menjadi bagian dari warisan besar peradaban.
Jadi, mengapa kita harus menulis?
Karena tanpa menulis, kita membiarkan dunia berlalu tanpa jejak. Dan karena di balik setiap tulisan yang jujur, ada harapan yang diam-diam ingin dihidupkan kembali.
BERLAYARLAH BAHASAKU.