Namaku Raka. Semester ini, sekolahku ngadain pertukaran pelajar kecil-kecilan ke sebuah SMP di daerah pegunungan, tepatnya di kaki Gunung Slamet. Kami, anak-anak kota, dikirim ke sana selama seminggu untuk “belajar hidup bersama,” katanya.
Jujur aja, awalnya aku males.
Panas, sinyal jelek, dan katanya cuma ada satu warung yang jual minuman dingin.
Aku bareng lima temen lain: Nanda si gamer, Vira si anak story, Tyo si bintang basket, dan dua anak lain yang bahkan jarang ngomong.
Kami dikasih tempat tinggal bareng keluarga angkat. Aku tinggal di rumah Pak Darmo, petani sayur.
Hari pertama di sekolah baru, aku langsung kaget.
Kelas mereka gak ada AC. Papan tulisnya masih pakai kapur.
Tapi… yang bikin aku heran, semua murid semangatnya gila-gilaan.
Tertib, aktif, dan saling bantu.
Pas upacara hari Senin, kami yang dari kota diminta pakai seragam lengkap dan berdiri baris di depan.
Agak malu sih, karena sepatu kami bersih banget, sementara anak-anak situ banyak yang pakai sepatu bolong, bahkan ada yang nyeker. Tapi… mereka senyum terus.
Hari ketiga, kami diajak kerja bakti.
Bersihin selokan dan bantu persiapan panggung untuk acara desa.
Tyo ngeluh, “Gila, kita sekolah apa kerja rodi, sih?”
Tapi waktu lihat anak-anak lokal ikutan angkat kayu sambil ketawa, rasa malasnya mulai luntur.
Aku sendiri pelan-pelan mulai ngobrol sama Bima, anak situ yang satu kelompok sama aku.
Bima cerita, dia pingin sekolah terus sampai kuliah, meskipun ayahnya cuma petani.
“Biar bisa bantu kampung, Kak,” katanya.
Aku kaget dipanggil “Kak,” padahal kami seumuran.
Malam sebelum pulang, kami semua duduk di pinggir lapangan.
Langitnya penuh bintang. Gak ada cahaya kota, jadi kelihatan banget.
“Gue gak nyangka sih,” kata Vira pelan.
“Apa?” tanya Nanda.
“Bahwa ternyata… kita beda banget, tapi gak kerasa kayak orang asing.”
Aku diem.
Karena aku juga ngerasa hal yang sama.
Kami dari Jakarta, mereka dari desa di kaki gunung. Tapi pas kerja bareng, gak ada yang nanya kamu dari mana, agamamu apa, atau sepatu kamu merek apa.
Kita semua cuma jadi… anak sekolah yang lagi belajar hidup.
Waktu pulang, Bima ngasih aku gelang dari serat bambu.
“Buat kenang-kenangan,” katanya.
Aku balas dengan topi yang biasa kupakai waktu naik motor.
Kami salaman. Lalu peluk sebentar.
Gak banyak kata-kata, tapi ada yang terasa hangat.
Di bus perjalanan pulang, aku lihat tangan kananku.
Masih ada gelang bambu itu.
Dan aku sadar…
Kadang, persatuan bukan soal pidato atau upacara. Tapi soal mau saling ngerti, saling bantu, dan ngerasa setara. Meski beda tempat, beda cara hidup, tapi tetap satu tanah yang kita pijak.
Indonesia.
Tags: cerita pendek Pancasila, sila ketiga, persatuan Indonesia, pertukaran pelajar, anak kota dan desa, kerja bakti, gotong royong, cerita remaja, SMP, inspiratif, toleransi