Cerpen Dewasa “Aku Pulang”

Langit mulai menguning ketika Bayu mematikan laptopnya. Seberkas cahaya sore menembus tirai jendela kantor yang mulai lengang. Di luar, Jakarta masih berisik, tapi hatinya mendadak senyap.

Sudah berapa lama ia menunda untuk benar-benar pulang? Bukan sekadar pulang secara fisik—tapi hadir. Menjadi suami. Menjadi ayah. Menjadi anak dari seorang ibu yang makin renta.

Ia teringat pada janji kecil yang tak pernah ditepati. Janji untuk menemani Rara menggambar gunung. Janji untuk membelikan martabak kesukaan Lila. Dan janji pada ibunya—sekadar duduk bersama sambil menikmati teh panas dan kisah masa lalu.

Bayu berdiri. Ia menatap bayangannya sendiri di layar monitor yang mulai gelap. “Cukup untuk minggu ini,” gumamnya.

Di perjalanan pulang, ia tidak menyalakan radio. Jalanan yang macet ia biarkan jadi ruang kontemplasi. Aroma tanah yang basah habis gerimis sore itu mengingatkannya pada rumah masa kecil di Magelang. Pada Jumat sore yang dulu—ketika ayahnya pulang membawa oleh-oleh dan senyuman.

Saat pintu rumah terbuka, suara tawa Rara menyambutnya. Lila melongok dari dapur dengan wajah terkejut dan senang. Ibunya duduk di ruang tengah, membenarkan letak bantal di punggung.

“Papa udah pulang?” tanya Rara sambil berlari ke pelukannya.
“Papa udah pulang. Dan kali ini, Papa beneran pulang.”

Malam itu mereka makan bersama. Tak ada agenda penting, tak ada deadline, tak ada laptop menyala. Hanya obrolan kecil, suara sendok di piring, dan hati yang perlahan-lahan kembali utuh.

Di luar, malam turun perlahan. Tapi di dalam rumah, Jumat sore berubah jadi surga kecil yang dirindukan siapa saja.

Setelah makan malam, Bayu mengajak Rara ke teras. Udara masih lembab, menyisakan gerimis yang belum sepenuhnya reda. Ia duduk di kursi rotan yang biasa dipakai ayahnya dulu, memandang halaman kecil tempat pohon mangga tumbuh malas.

“Papa, gambar gunung yuk!” seru Rara sambil membawa kertas dan crayon.

Bayu tersenyum. “Mau gunung satu atau dua?”

“Dua! Kayak di belakang rumah Nenek, kan?”

Ia menggambar dengan tangan kaku. Terakhir kali ia memegang crayon mungkin waktu sekolah dasar. Tapi Rara tertawa tiap garis miring ia tarik, dan di antara coretan aneh itu, Bayu merasa: inilah karya terbaiknya. Rara menempelkan gambarnya di dinding dengan selotip bekas. Sebuah ritual kecil, tapi istimewa.

Di dapur, Lila tengah menyeduh teh. Ia mendekat, menyerahkan dua cangkir.

“Untuk kamu dan Ibu. Teh melati, favoritnya,” katanya pelan.

Bayu membawa teh itu ke ruang tengah, tempat Ibunya masih duduk menonton berita dengan volume kecil.

“Bu, masih ingat nggak, dulu tiap Jumat sore kita suka minum teh bareng?” tanya Bayu sambil menyerahkan cangkir.

Ibu mengangguk, matanya sedikit berkaca.

“Kamu sibuk banget belakangan ini, Yu. Tapi Ibu ngerti… sekarang kamu di sini, itu udah cukup,” ucapnya sambil menepuk punggung Bayu pelan.

Malam semakin larut. Rara tertidur di pangkuan Lila. Bayu memandangi mereka, lalu berdiri, menata bantal dan menyelimuti tubuh kecil anaknya. Ia lalu duduk di samping Lila, memegang tangannya dalam diam.

Tak ada kata-kata yang perlu diucapkan malam itu. Mereka tahu, bahwa waktu yang tak bisa diputar, tak perlu disesali—asal sisa hari ini diisi dengan hadir sepenuhnya.

Untuk pertama kalinya sejak lama, rumah itu terasa lengkap. Tidak megah, tidak mewah, tapi hangat. Dan itu cukup.

Jumat sore benar-benar menjadi titik balik—dari sekadar bertahan, menjadi benar-benar hidup. Di tengah keluarga, di tengah cinta yang selama ini diam-diam menunggu.