Suatu hari, Raja Harun Al-Rasyid memanggil Abunawas dengan wajah murung.
“Negeri ini rusak. Rakyat malas. Pejabat korup. Ulama rebutan panggung. Aku kecewa,” katanya sambil menunjuk ke arah jendela.
Abunawas hanya mengangguk. Lalu ia berkata, “Izinkan saya menunjukkan wajah negeri ini, Tuanku.”
Ia mengajak sang Raja ke sebuah sumur tua di belakang istana. Airnya jernih.
“Lihat ke dalam, Tuanku. Di sana ada wajah negeri ini.”
Raja menunduk. Ia melihat… dirinya sendiri.
“Apakah ini lelucon, Abunawas?”
“Tidak, Tuanku. Rakyat mencerminkan pemimpinnya. Bila air keruh, barangkali ada yang menjatuhkan lumpur dari atas.”
Raja tercekat. Tak ada yang berani bicara seperti itu di istana.
Abunawas menunduk hormat. “Kadang yang perlu dibersihkan bukan rakyat, tapi mata yang memandang.”
Sejak hari itu, sang Raja jarang lagi marah-marah. Ia mulai lebih banyak mendengar—dan lebih jarang menunjuk.